Selenium merupakan elemen metaloid dengan nomor atom 34. Ia ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang dokter sekaligus ahli kimia berkebangsaan Swedia, Jöns Jakob Berzelius. Selenium secara alami terdapat dalam beberapa jenis bahan makanan dan merupakan komponen esensial dari semua organisme hidup. Di dalam tubuh, selenium terdapat dalam bentuk selenoprotein yang memainkan peran penting pada berbagai proses metabolik di tingkat seluler. Selenoprotein pertama kali diidentifikasi pada tahun 1973, yaitu enzim glisin reduktase yang terdapat pada bakteri Clostridium sticklandii dan enzim format dehidrogenase yang terdapat pada sel bakteri Clostridium thermoaceticum. Pada manusia, selenoprotein yang pertama kali diketahui adalah glutation peroksidase yang diisolasi oleh Flohè et al pada tahun 1973. Enzim ini merupakan salah satu enzim kunci yang berperan dalam degradasi hidrogen peroksida yang aktivitasnya bergantung pada inkorporasi residu selenosistein pada keempat rantai polipeptidanya [1].
Selenium dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu organik dan anorganik. Selenium organik terutama dalam bentuk selenomethionine dan selenocysteine (Gambar 1), namun ditemukan juga bentuk lain yaitu selenoneine, Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine. Selenomethionine ditemukan pada sumber makanan nabati (terutama sereal) sedangkan selenocysteine didapatkan pada bahan makanan hewani. Selenoneine merupakan senyawa selenium utama pada ikan seperti tuna dan makarel, sedangkan Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine berasal dari sumber nabati seperti ragi yang diperkaya selenium, bawang putih, bawang merah, dan brokoli, dan dipercaya mempunyai efek antikanker. Selenium anorganik (selenate dan selenite) merupakan bentuk utama selenium di tanah yang kemudian diakumulasikan dan dikonversi ke dalam bentuk organik oleh tanaman. Selenate kadang terdapat dalam air minum, kadang juga ditemukan pada ikan dan kubis [2].
Gambar 1. Selenomethionine dan selenocysteine.
Absorpsi dan Metabolisme Selenium
Selenium baik dalam bentuk organik maupun anorganik diabsorpsi secara efektif. Tempat absorpsi utama adalah duodenum, meskipun sebagian kecil absorpsi terjadi di jejunum dan ileum. Absorpsi selenomethionine dan selenocysteine terjadi melalui sistem transport asam amino, dan diperkirakan mencapai lebih dari 80%. Selenomethionine diabsorpsi lebih baik daripada selenocysteine. Absorpsi selenite diperkirakan mencapai 85% seperti ditunjukkan dari beberapa studi, sedangkan absorpsi selenate lebih baik lagi dibanding selenite. Absorpsi selenium meningkat dengan adanya faktor-faktor seperti Vitamin C, A, dan E, juga karena adanya glutathione tereduksi pada lumen intestinal. Sedangkan logam berat (seperti merkuri) dan fitat menghambat absorpsi selenium dengan cara terjadi kelat dan presipitasi [4] (Gambar 2).
Gambar 2. Absorpsi Selenium (Dikutip dari Gropper et al [4])
Selenomethionine, yang berasal dari diet, dapat disimpan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino, atau digunakan untuk sintesis protein seperti halnya asam amino methionine, atau mengalami katabolisme menjadi selenocysteine. Metabolisme selenomethionine serupa dengan metabolisme methionine. Selenocysteine, yang dapat berasal dari metabolisme selenomethionine maupun dari diet, dapat dipecah oleh selenocysteine β-lyase untuk menghasilkan selenium bebas. Selenium bebas kemudian diubah menjadi selenide dengan adanya hidrogen yang berasal dari glutathion atau senyawa thiol lain. Selanjutnya selenide dapat mengalami metilasi dan diekskresi ke dalam urine atau diubah menjadi selenofosfat oleh selenophosphate synthase.
Selenoprotein
Di dalam tubuh, fungsi selenium diperankan melalui inkorporasinya ke dalam molekul selenoprotein yang mengikat selenocystein pada bagian aktifnya. Saat ini sudah ditemukan 25 jenis selenoprotein pada manusia, meskipun sebagian selenoprotein tersebut belum diketahui fungsinya. Beberapa selenoprotein yang fungsinya sudah teridentifikasi adalah sebagai berikut [4,5] :
a. Glutathion peroxidase, merupakan keluarga enzim antioksidan. Ia berperan melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif akibat efek toksik dari ROS (Reactive Oxygen Species), termasuk di dalamnya hidrogen peroksida (H2O2) dan fosfolipid hidroperoksida.
b. Thioredoxin reductase, berfungsi mempertahankan keadaan redox intraseluler dengan cara regenerasi thioredoxin tereduksi.
c. Iodothyronin deiodinase, berperan sentral dalam produksi hormon thyroid.
d. Selenoprotein P, berperan penting dalam pengangkutan selenium dalam plasma dari hepar ke berbagai jaringan tubuh. Testis dan otak sangat bergantung pada Selenoprotein P untuk kebutuhan selenium yang adekuat. Selenoprotein P juga dapat berperan sebagai antioksidan, juga sebagai kelator logam berat (khususnya merkuri).
Daftar Rujukan
1. Kieliszek M, Błażejak
S. Selenium: Significance, and outlook for supplementation. Nutrition 29 (2013) 713–718. Download pdf
2. Rayman MP, Infante HG, Sargent M.
Food-chain selenium and human health: spotlight on speciation. Br J Nutr 2008; 100: 238–53. Download pdf
3. Rayman MP. Selenium and human
health. Lancet 2012; 379: 1256–68. Download pdf
4. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
5th ed. Cengage Learning, USA. 2009. pp: 506 – 513. Download pdf
5. Davis CD, Tsuji PA, Milner JA.
Selenoproteins and cancer prevention. Annu
Rev Nutr. 2012. 32:3.1–3.23. Download pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar