Dislipidemia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya kelainan dalam metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total (total cholesterol, TC), peningkatan kadar LDLc (Cholesterol-Low Density Lipoprotein), peningkatan kadar trigliserida (TG), serta penurunan kadar HDLc (Cholesterol-High Density Lipoprotein) dalam darah [1]. Dislipidemia dapat terjadi karena adanya faktor predisposisi genetik (dislipidemia primer) maupun karena suatu penyakit lain atau faktor lingkungan (dislipidemia sekunder). Beberapa penyebab primer dislipidemia antara lain adalah defisiensi reseptor LDL dan familial homozygous hyperlipidemia yang ditandai dengan peningkatan LDLc, serta defisiensi APO A-1, mutasi APO A-1, defisiensi LCAT (parsial maupun komplit), penyakit Tangier, dan familial hypoalpalipoproteinemia yang menyebabkan HDLc yang rendah [2].
Dislipidemia sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain atau karena faktor gaya hidup. Beberapa hal yang dapat menyebabkan dislipidemia antara lain obesitas, asupan lemak yang tinggi, hipertiroidisme, Diabetes Melitus, sindrom nefrotik, dan penggunaan anabolik steroid [2]. Dari studi yang dilakukan Vodnala et al [3], mereka menemukan bahwa penyebab utama dislipidemia sekunder adalah Diabetes Mellitus, asupan alkohol yang berlebihan, dan albuminuria. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa konsumsi fruktosa berlebihan merupakan salah satu penyebab dislipidemia sekunder [4-7].
Prevalensi dislipidemia bervariasi pada berbagai negara, akan tetapi angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat, berdasarkan penelitian multi-center yang dilakukan Goff et al tahun 2006, prevalensi dislipidemia mencapai 29,3 % dengan rentang antara 21,0% pada perempuan Chinese hingga 36,9% pada pria kulit putih non-Hispanik [8]. Lee et al melaporkan bahwa prevalensi dislipidemia di Korea mengalami peningkatan dari 32,4% pada tahun 1998 menjadi 42,6% di tahun 2001 dan meningkat menjadi 44,1% pada tahun 2005 [9]. Di Beijing prevalensi dislipidemia adalah 35,4% sedangkan di India prevalensinya sangat tinggi, mencapai 79% [10, 11].
Angka prevalensi dislipidemia di Indonesia juga menunjukkan trend meningkat. Berdasarkan hasil penelitian MONICA (Monitoring Trends and Determinant in Cardiovascular Disease Survey) di Jakarta (dikutip dari Hatma [12]), prevalensi hiperkolesterolemia meningkat dari 13,4% pada tahun 1988 menjadi 16,4% pada tahun 1993. Hatma mengamati profil lipid pada berbagai etnis di Indonesia dan mendapatkan bahwa angka dislipidemia paling tinggi terdapat pada etnis Minangkabau (24,8%) [12]. Penelitian oleh Sartika pada 180 sampel di Depok tahun 2011 memberikan angka prevalensi dislipidemia yang cukup tinggi, yaitu 63,9% [13].
Daftar Rujukan
1. Catapano AL, Reiner Z, Backer GD, Graham I, Taskinen M, Wiklund O, et al. ESC/EAS Guidelines for the management of dyslipidaemias. The Task Force for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Atherosclerosis Society (EAS). Atherosclerosis 217 (2011) 3–46. Download pdf
2. Gau GT, Wright RS. Pathophysiology, diagnosis, and management of dyslipidemia. Curr Probl Cardiol 2006; 31: 445-486. Download pdf
3. Vodnala D, Rubenfire M, Brook RD. Secondary causes of dyslipidemia. Am J Cardiol 2012;110:823– 825. Download pdf
4. Lê K-A, Ith M, Kreis R, Faeh D, Bortolotti M, Tran C et al. Fructose overconsumption causes dyslipidemia and ectopic lipid deposition in healthy subjects with and without a family history of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr. 2009; 89: 1760–1765. Download pdf
5. Sobrecases H, Lê K-A, Bortolotti M, Schneiter P, Ith M, Kreis R et al. Effects of short-term overfeeding with fructose, fat and fructose plus fat on plasma and hepatic lipids in healthy men. Diabet Metab. 2010; 36: 244–246. Download pdf
6. Parks EJ, Skokan LE, Timlin MT, Dingfelder CS. Dietary sugars stimulate fatty acid synthesis in adults. J Nutr. 2008; 138: 1039–1046. Download pdf
7. Samuel VT. Fructose induced lipogenesis: from sugar to fat to insulin resistance. Trends Endocrinol Metab. 2011; 22 (2): 61-65. Download pdf
8. Goff DC, Bertoni AG, Kramer H, Bonds D, Blumenthal RS, Tsai MY, et al. Dyslipidemia prevalence, treatment, and control in the multi-ethnic study of atherosclerosis (MESA): gender, ethnicity, and coronary artery calcium. Circulation. 2006; 113: 647-656. Download pdf
9. Lee MH, Kim HC, Ahn SV, Hur NW, Choi DP, Park CG, et al. Prevalence of Dyslipidemia among Korean Adults: Korea National Health and Nutrition Survey 1998-2005. Diabetes Metab J 2012; 36: 43-55. Download pdf
10. Cai L, Zhang L, Liu A, Li S, Wang P. Prevalence, awareness, treatment, and control of dyslipidemia among adults in Beijing, China. J Atheroscler Thromb 2012; 19: 159-168. Download pdf
11. Joshi SR, Anjana RM, Deepa M, Pradeepa R, Bhansali A, Dhandania VK et al. Prevalence of dyslipidemia in urban and rural India: the ICMR–INDIAB study. PloS ONE (2014) 9(5): e96808. Download pdf
12. Hatma RD. Lipid Profiles Among Diverse Ethnic Groups in Indonesia. Acta Med Indones-Indones J Intern Med 2011; 43(1) :4-11. Download pdf
13. Sartika RAD. Dietary trans fatty acids intake and its relation to dyslipidemia in a sample of adults in Depok City, West Java, Indonesia. Mal J Nutr 2011:17(3):337-346. Download pdf
30 September 2015
Peran Selenium Pada Kanker
Berbagai studi pada hewan menunjukkan bahwa asupan Selenium yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan fungsi reproduksi yang optimal ternyata dapat mencegah karsinogenesis spontan maupun yang terinduksi bahan kimia. Secara spesifik suplementasi selenium dilaporkan dapat menurunkan insidensi kanker hepar, esofagus, pankreas, prostat, kolon, dan payudara pada hewan coba. Namun demikian, ekstrapolasi hasil penelitian tersebut kepada manusia mengalami kendala karena dosis yang digunakan seringkali lebih tinggi daripada jumlah yang biasa dikonsumsi manusia [1].
Bukti yang menunjukkan efek protektif selenium terhadap kanker berawal dari hasil studi ekologis dan korelasional. Data korelasi geografis pada berbagai wilayah di dunia dan di Amerika Serikat menunjukkan adanya asosiasi terbalik antara kadar selenium dalam makanan ternak atau dalam diet dengan angka mortalitas kanker. Beberapa studi case-control dilakukan untuk meneliti hubungan antara kadar selenium dengan suseptibilitas menderita kanker. Secara umum, kadar selenium dalam darah, serum, rambut, atau kuku jari kaki orang yang mengalami kanker lebih rendah daripada orang sehat. Bukti yang lebih jelas dihasilkan dari beberapa studi prospektif yang menunjukkan bahwa resiko kanker adalah 2 – 6 kali lebih tinggi pada subyek dengan kadar selenium paling rendah dibanding dengan subyek dengan kadar selenioum paling tinggi [1].
Sejak tahun 1960, berbagai studi melaporkan bahwa orang dengan kadar selenium yang tinggi dalam dietnya atau dalam jaringan tubuhnya mempunyai angka kejadian kanker yang lebih rendah. Beberapa penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa selenium dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Hal ini telah menimbulkan ketertarikan yang luas dan anggapan bahwa suplementasi selenium dapat mencegah terjadinya kanker. Selama beberapa dekade berikutnya, lebih banyak lagi studi yang dilakukan untuk membandingkan angka kejadian kanker antara orang dengan kadar selenium yang tinggi dan rendah [2].
Kemampuan selenium untuk menetralkan pertumbuhan sel kanker diduga berkaitan dengan efeknya terhadap stabilitas DNA, proliferasi sel, kematian sel melalui apoptosis dan nekrosis pada sel normal dan sel malignan, dan pengaturan stress oksidatif serta sistem imun. Kemampuan selenium tersebut telah melahirkan suatu hipotesis tentang kemungkinan penggunaan senyawa selenium dalam terapi kanker, namun hal ini masih dalam proses investigasi. Fungsi selenium dalam berbagai mekanisme tersebut berkaitan dengan peran selenium sebagai sumber selenometabolit maupun sebagai komponen berbagai selenoenzim [1].
Berdasarkan meta-analysis terhadap 16 penelitian observasional prospektif yang dilakukan oleh Vinceti et al [2], mereka menemukan adanya penurunan insidensi dan mortalitas kanker pada paparan selenium yang lebih tinggi. Resiko kanker 31% lebih rendah, dan resiko kematian akibat kanker 36% lebih rendah pada kelompok dengan paparan selenium paling tinggi dibanding dengan kelompok dengan paparan selenium paling rendah. Secara spesifik, resiko berkembangnya kanker kandung kemih berkurang 33% dan kanker prostat 21%. Resiko kanker paru, lambung dan kolorektal juga didapatkan menurun dengan paparan selenium yang lebih tinggi. Akan tetapi tidak didapatkan hubungan antara selenium dengan resiko kanker payudara.
Vinceti et al [2] juga menganalisis 8 RCT (Randomized Controlled Trial) yang menguji efek suplementasi selenium dalam mencegah terjadinya kanker kulit non-melanoma, kanker hati, dan kanker prostat. Mereka menemukan bahwa suplementasi selenium tidak berefek pada outcome primer yaitu terjadinya kanker kulit non-melanoma, hepar, dan prostat, maupun outcome sekunder. Bahkan hasil dari 2 uji klinik yaitu NPCT dan SELECT justru memberikan peringatan untuk berhati-hati dalam suplementasi selenium oleh karena adanya kemungkinan terjadi efek yang membahayakan antara lain meningkatnya insidensi kanker kulit non-melanoma, DM tipe 2, dan efek dermatologis. Peringatan tentang efek berbahaya dari suplementasi selenium juga muncul dari hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Kenfield et al [3]. Mereka menemukan bahwa suplementasi selenium yang diberikan setelah ditegakkan diagnosis kanker prostat non-metastasis justru meningkatkan resiko mortalitasnya.
Kesimpulan
Studi tentang efek selenium terhadap pencegahan kanker telah banyak dilakukan. Studi observasional prospektif telah menunjukkan bahwa orang dengan kadar selenium yang lebih tinggi mempunyai resiko kanker yang lebih rendah. Meskipun hasil ini menjelaskan peran penting selenium untuk mencegah terjadinya kanker, namun pemberian suplemen selenium sebagai upaya pencegahan maupun pengobatan kanker perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, oleh karena beberapa penelitian uji klinis menunjukkan bahwa suplementasi selenium justru meningkatkan mortalitas kanker.
Daftar Rujukan
1. Davis CD, Tsuji PA, Milner JA. Selenoproteins and cancer prevention. Annu Rev Nutr. 2012. 32:3.1–3.23. Download pdf
2. Vinceti M, Dennert G, Crespi CM, Zwahlen M, Brinkman M, Zeegers MPA et al. Selenium for preventing cancer (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2014, Issue 3. Art. No.: CD005195. Download pdf
3. Kenfield SA, Van Blarigan EL, DuPre N, Stampfer MJ, Giovannucci EL, Chan JM. Selenium supplementation and prostate cancer mortality. JNCI J Natl Cancer Inst. 2015, 1–8. Download pdf
Baca Juga : Metabolisme Selenium
Bukti yang menunjukkan efek protektif selenium terhadap kanker berawal dari hasil studi ekologis dan korelasional. Data korelasi geografis pada berbagai wilayah di dunia dan di Amerika Serikat menunjukkan adanya asosiasi terbalik antara kadar selenium dalam makanan ternak atau dalam diet dengan angka mortalitas kanker. Beberapa studi case-control dilakukan untuk meneliti hubungan antara kadar selenium dengan suseptibilitas menderita kanker. Secara umum, kadar selenium dalam darah, serum, rambut, atau kuku jari kaki orang yang mengalami kanker lebih rendah daripada orang sehat. Bukti yang lebih jelas dihasilkan dari beberapa studi prospektif yang menunjukkan bahwa resiko kanker adalah 2 – 6 kali lebih tinggi pada subyek dengan kadar selenium paling rendah dibanding dengan subyek dengan kadar selenioum paling tinggi [1].
Sejak tahun 1960, berbagai studi melaporkan bahwa orang dengan kadar selenium yang tinggi dalam dietnya atau dalam jaringan tubuhnya mempunyai angka kejadian kanker yang lebih rendah. Beberapa penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa selenium dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Hal ini telah menimbulkan ketertarikan yang luas dan anggapan bahwa suplementasi selenium dapat mencegah terjadinya kanker. Selama beberapa dekade berikutnya, lebih banyak lagi studi yang dilakukan untuk membandingkan angka kejadian kanker antara orang dengan kadar selenium yang tinggi dan rendah [2].
Kemampuan selenium untuk menetralkan pertumbuhan sel kanker diduga berkaitan dengan efeknya terhadap stabilitas DNA, proliferasi sel, kematian sel melalui apoptosis dan nekrosis pada sel normal dan sel malignan, dan pengaturan stress oksidatif serta sistem imun. Kemampuan selenium tersebut telah melahirkan suatu hipotesis tentang kemungkinan penggunaan senyawa selenium dalam terapi kanker, namun hal ini masih dalam proses investigasi. Fungsi selenium dalam berbagai mekanisme tersebut berkaitan dengan peran selenium sebagai sumber selenometabolit maupun sebagai komponen berbagai selenoenzim [1].
Berdasarkan meta-analysis terhadap 16 penelitian observasional prospektif yang dilakukan oleh Vinceti et al [2], mereka menemukan adanya penurunan insidensi dan mortalitas kanker pada paparan selenium yang lebih tinggi. Resiko kanker 31% lebih rendah, dan resiko kematian akibat kanker 36% lebih rendah pada kelompok dengan paparan selenium paling tinggi dibanding dengan kelompok dengan paparan selenium paling rendah. Secara spesifik, resiko berkembangnya kanker kandung kemih berkurang 33% dan kanker prostat 21%. Resiko kanker paru, lambung dan kolorektal juga didapatkan menurun dengan paparan selenium yang lebih tinggi. Akan tetapi tidak didapatkan hubungan antara selenium dengan resiko kanker payudara.
Vinceti et al [2] juga menganalisis 8 RCT (Randomized Controlled Trial) yang menguji efek suplementasi selenium dalam mencegah terjadinya kanker kulit non-melanoma, kanker hati, dan kanker prostat. Mereka menemukan bahwa suplementasi selenium tidak berefek pada outcome primer yaitu terjadinya kanker kulit non-melanoma, hepar, dan prostat, maupun outcome sekunder. Bahkan hasil dari 2 uji klinik yaitu NPCT dan SELECT justru memberikan peringatan untuk berhati-hati dalam suplementasi selenium oleh karena adanya kemungkinan terjadi efek yang membahayakan antara lain meningkatnya insidensi kanker kulit non-melanoma, DM tipe 2, dan efek dermatologis. Peringatan tentang efek berbahaya dari suplementasi selenium juga muncul dari hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Kenfield et al [3]. Mereka menemukan bahwa suplementasi selenium yang diberikan setelah ditegakkan diagnosis kanker prostat non-metastasis justru meningkatkan resiko mortalitasnya.
Kesimpulan
Studi tentang efek selenium terhadap pencegahan kanker telah banyak dilakukan. Studi observasional prospektif telah menunjukkan bahwa orang dengan kadar selenium yang lebih tinggi mempunyai resiko kanker yang lebih rendah. Meskipun hasil ini menjelaskan peran penting selenium untuk mencegah terjadinya kanker, namun pemberian suplemen selenium sebagai upaya pencegahan maupun pengobatan kanker perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, oleh karena beberapa penelitian uji klinis menunjukkan bahwa suplementasi selenium justru meningkatkan mortalitas kanker.
Daftar Rujukan
1. Davis CD, Tsuji PA, Milner JA. Selenoproteins and cancer prevention. Annu Rev Nutr. 2012. 32:3.1–3.23. Download pdf
2. Vinceti M, Dennert G, Crespi CM, Zwahlen M, Brinkman M, Zeegers MPA et al. Selenium for preventing cancer (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2014, Issue 3. Art. No.: CD005195. Download pdf
3. Kenfield SA, Van Blarigan EL, DuPre N, Stampfer MJ, Giovannucci EL, Chan JM. Selenium supplementation and prostate cancer mortality. JNCI J Natl Cancer Inst. 2015, 1–8. Download pdf
Baca Juga : Metabolisme Selenium
27 September 2015
Metabolisme Selenium
Pendahuluan
Selenium merupakan elemen metaloid dengan nomor atom 34. Ia ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang dokter sekaligus ahli kimia berkebangsaan Swedia, Jöns Jakob Berzelius. Selenium secara alami terdapat dalam beberapa jenis bahan makanan dan merupakan komponen esensial dari semua organisme hidup. Di dalam tubuh, selenium terdapat dalam bentuk selenoprotein yang memainkan peran penting pada berbagai proses metabolik di tingkat seluler. Selenoprotein pertama kali diidentifikasi pada tahun 1973, yaitu enzim glisin reduktase yang terdapat pada bakteri Clostridium sticklandii dan enzim format dehidrogenase yang terdapat pada sel bakteri Clostridium thermoaceticum. Pada manusia, selenoprotein yang pertama kali diketahui adalah glutation peroksidase yang diisolasi oleh Flohè et al pada tahun 1973. Enzim ini merupakan salah satu enzim kunci yang berperan dalam degradasi hidrogen peroksida yang aktivitasnya bergantung pada inkorporasi residu selenosistein pada keempat rantai polipeptidanya [1].
Selenium dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu organik dan anorganik. Selenium organik terutama dalam bentuk selenomethionine dan selenocysteine (Gambar 1), namun ditemukan juga bentuk lain yaitu selenoneine, Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine. Selenomethionine ditemukan pada sumber makanan nabati (terutama sereal) sedangkan selenocysteine didapatkan pada bahan makanan hewani. Selenoneine merupakan senyawa selenium utama pada ikan seperti tuna dan makarel, sedangkan Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine berasal dari sumber nabati seperti ragi yang diperkaya selenium, bawang putih, bawang merah, dan brokoli, dan dipercaya mempunyai efek antikanker. Selenium anorganik (selenate dan selenite) merupakan bentuk utama selenium di tanah yang kemudian diakumulasikan dan dikonversi ke dalam bentuk organik oleh tanaman. Selenate kadang terdapat dalam air minum, kadang juga ditemukan pada ikan dan kubis [2].
Asupan selenium dari diet bervariasi sangat luas pada berbagai negara, mulai dari 7 µg/hari hingga 4990 µg/hari, dengan rerata 40 µg/hari di Eropa serta 93 µg/hari (pada wanita) dan 134 µg/hari (pada pria) di Amerika Serikat. Suplemen yang mengandung selenium memberikan kontribusi yang cukup signifikan di AS di mana sekitar 50% populasi mengkonsumsi suplemen. Asupan selenium yang tinggi terdapat di Venezuela, Canada, Amerika Serikat dan Jepang, dan jauh lebih rendah di Eropa, khususnya di Eropa Timur. Di China terdapat daerah dengan kandungan selenium yang sangat rendah maupun daerah dengan kandungan selenium berlebih. Di Selandia Baru, asupan selenium pada awalnya rendah, namun membaik setelah meningkatnya import gandum yang kaya selenium dari Australia. Bervariasinya asupan selenium ini tidak semata disebabkan oleh perbedaan kandungan selenium dalam tanah melainkan juga karena faktor-faktor yang mempengaruhi availabilitas selenium dalam rantai makanan seperti bentuk kimiawi selenium, pH dan kandungan senyawa organik dalam tanah, serta keberadaan ion-ion yang dapat membentuk ikatan kompleks dengan selenium [3].
Absorpsi dan Metabolisme Selenium
Selenium baik dalam bentuk organik maupun anorganik diabsorpsi secara efektif. Tempat absorpsi utama adalah duodenum, meskipun sebagian kecil absorpsi terjadi di jejunum dan ileum. Absorpsi selenomethionine dan selenocysteine terjadi melalui sistem transport asam amino, dan diperkirakan mencapai lebih dari 80%. Selenomethionine diabsorpsi lebih baik daripada selenocysteine. Absorpsi selenite diperkirakan mencapai 85% seperti ditunjukkan dari beberapa studi, sedangkan absorpsi selenate lebih baik lagi dibanding selenite. Absorpsi selenium meningkat dengan adanya faktor-faktor seperti Vitamin C, A, dan E, juga karena adanya glutathione tereduksi pada lumen intestinal. Sedangkan logam berat (seperti merkuri) dan fitat menghambat absorpsi selenium dengan cara terjadi kelat dan presipitasi [4] (Gambar 2).
Selenomethionine, yang berasal dari diet, dapat disimpan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino, atau digunakan untuk sintesis protein seperti halnya asam amino methionine, atau mengalami katabolisme menjadi selenocysteine. Metabolisme selenomethionine serupa dengan metabolisme methionine. Selenocysteine, yang dapat berasal dari metabolisme selenomethionine maupun dari diet, dapat dipecah oleh selenocysteine β-lyase untuk menghasilkan selenium bebas. Selenium bebas kemudian diubah menjadi selenide dengan adanya hidrogen yang berasal dari glutathion atau senyawa thiol lain. Selanjutnya selenide dapat mengalami metilasi dan diekskresi ke dalam urine atau diubah menjadi selenofosfat oleh selenophosphate synthase.
Selenoprotein
Di dalam tubuh, fungsi selenium diperankan melalui inkorporasinya ke dalam molekul selenoprotein yang mengikat selenocystein pada bagian aktifnya. Saat ini sudah ditemukan 25 jenis selenoprotein pada manusia, meskipun sebagian selenoprotein tersebut belum diketahui fungsinya. Beberapa selenoprotein yang fungsinya sudah teridentifikasi adalah sebagai berikut [4,5] :
a. Glutathion peroxidase, merupakan keluarga enzim antioksidan. Ia berperan melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif akibat efek toksik dari ROS (Reactive Oxygen Species), termasuk di dalamnya hidrogen peroksida (H2O2) dan fosfolipid hidroperoksida.
b. Thioredoxin reductase, berfungsi mempertahankan keadaan redox intraseluler dengan cara regenerasi thioredoxin tereduksi.
c. Iodothyronin deiodinase, berperan sentral dalam produksi hormon thyroid.
d. Selenoprotein P, berperan penting dalam pengangkutan selenium dalam plasma dari hepar ke berbagai jaringan tubuh. Testis dan otak sangat bergantung pada Selenoprotein P untuk kebutuhan selenium yang adekuat. Selenoprotein P juga dapat berperan sebagai antioksidan, juga sebagai kelator logam berat (khususnya merkuri).
Daftar Rujukan
Selenium merupakan elemen metaloid dengan nomor atom 34. Ia ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang dokter sekaligus ahli kimia berkebangsaan Swedia, Jöns Jakob Berzelius. Selenium secara alami terdapat dalam beberapa jenis bahan makanan dan merupakan komponen esensial dari semua organisme hidup. Di dalam tubuh, selenium terdapat dalam bentuk selenoprotein yang memainkan peran penting pada berbagai proses metabolik di tingkat seluler. Selenoprotein pertama kali diidentifikasi pada tahun 1973, yaitu enzim glisin reduktase yang terdapat pada bakteri Clostridium sticklandii dan enzim format dehidrogenase yang terdapat pada sel bakteri Clostridium thermoaceticum. Pada manusia, selenoprotein yang pertama kali diketahui adalah glutation peroksidase yang diisolasi oleh Flohè et al pada tahun 1973. Enzim ini merupakan salah satu enzim kunci yang berperan dalam degradasi hidrogen peroksida yang aktivitasnya bergantung pada inkorporasi residu selenosistein pada keempat rantai polipeptidanya [1].
Selenium dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu organik dan anorganik. Selenium organik terutama dalam bentuk selenomethionine dan selenocysteine (Gambar 1), namun ditemukan juga bentuk lain yaitu selenoneine, Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine. Selenomethionine ditemukan pada sumber makanan nabati (terutama sereal) sedangkan selenocysteine didapatkan pada bahan makanan hewani. Selenoneine merupakan senyawa selenium utama pada ikan seperti tuna dan makarel, sedangkan Se-methylselenocysteine dan γ-glutamyl-Se-methylselenocysteine berasal dari sumber nabati seperti ragi yang diperkaya selenium, bawang putih, bawang merah, dan brokoli, dan dipercaya mempunyai efek antikanker. Selenium anorganik (selenate dan selenite) merupakan bentuk utama selenium di tanah yang kemudian diakumulasikan dan dikonversi ke dalam bentuk organik oleh tanaman. Selenate kadang terdapat dalam air minum, kadang juga ditemukan pada ikan dan kubis [2].
Gambar 1. Selenomethionine dan selenocysteine.
Absorpsi dan Metabolisme Selenium
Selenium baik dalam bentuk organik maupun anorganik diabsorpsi secara efektif. Tempat absorpsi utama adalah duodenum, meskipun sebagian kecil absorpsi terjadi di jejunum dan ileum. Absorpsi selenomethionine dan selenocysteine terjadi melalui sistem transport asam amino, dan diperkirakan mencapai lebih dari 80%. Selenomethionine diabsorpsi lebih baik daripada selenocysteine. Absorpsi selenite diperkirakan mencapai 85% seperti ditunjukkan dari beberapa studi, sedangkan absorpsi selenate lebih baik lagi dibanding selenite. Absorpsi selenium meningkat dengan adanya faktor-faktor seperti Vitamin C, A, dan E, juga karena adanya glutathione tereduksi pada lumen intestinal. Sedangkan logam berat (seperti merkuri) dan fitat menghambat absorpsi selenium dengan cara terjadi kelat dan presipitasi [4] (Gambar 2).
Gambar 2. Absorpsi Selenium (Dikutip dari Gropper et al [4])
Selenomethionine, yang berasal dari diet, dapat disimpan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino, atau digunakan untuk sintesis protein seperti halnya asam amino methionine, atau mengalami katabolisme menjadi selenocysteine. Metabolisme selenomethionine serupa dengan metabolisme methionine. Selenocysteine, yang dapat berasal dari metabolisme selenomethionine maupun dari diet, dapat dipecah oleh selenocysteine β-lyase untuk menghasilkan selenium bebas. Selenium bebas kemudian diubah menjadi selenide dengan adanya hidrogen yang berasal dari glutathion atau senyawa thiol lain. Selanjutnya selenide dapat mengalami metilasi dan diekskresi ke dalam urine atau diubah menjadi selenofosfat oleh selenophosphate synthase.
Selenoprotein
Di dalam tubuh, fungsi selenium diperankan melalui inkorporasinya ke dalam molekul selenoprotein yang mengikat selenocystein pada bagian aktifnya. Saat ini sudah ditemukan 25 jenis selenoprotein pada manusia, meskipun sebagian selenoprotein tersebut belum diketahui fungsinya. Beberapa selenoprotein yang fungsinya sudah teridentifikasi adalah sebagai berikut [4,5] :
a. Glutathion peroxidase, merupakan keluarga enzim antioksidan. Ia berperan melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif akibat efek toksik dari ROS (Reactive Oxygen Species), termasuk di dalamnya hidrogen peroksida (H2O2) dan fosfolipid hidroperoksida.
b. Thioredoxin reductase, berfungsi mempertahankan keadaan redox intraseluler dengan cara regenerasi thioredoxin tereduksi.
c. Iodothyronin deiodinase, berperan sentral dalam produksi hormon thyroid.
d. Selenoprotein P, berperan penting dalam pengangkutan selenium dalam plasma dari hepar ke berbagai jaringan tubuh. Testis dan otak sangat bergantung pada Selenoprotein P untuk kebutuhan selenium yang adekuat. Selenoprotein P juga dapat berperan sebagai antioksidan, juga sebagai kelator logam berat (khususnya merkuri).
Daftar Rujukan
1. Kieliszek M, Błażejak
S. Selenium: Significance, and outlook for supplementation. Nutrition 29 (2013) 713–718. Download pdf
2. Rayman MP, Infante HG, Sargent M.
Food-chain selenium and human health: spotlight on speciation. Br J Nutr 2008; 100: 238–53. Download pdf
3. Rayman MP. Selenium and human
health. Lancet 2012; 379: 1256–68. Download pdf
4. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
5th ed. Cengage Learning, USA. 2009. pp: 506 – 513. Download pdf
5. Davis CD, Tsuji PA, Milner JA.
Selenoproteins and cancer prevention. Annu
Rev Nutr. 2012. 32:3.1–3.23. Download pdf
Persepsi Negatif Tentang Cokelat
Di masyarakat
banyak berkembang mitos tentang pengaruh negatif coklat, bahwa cokelat
sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan antara lain
obesitas, alergi, diabetes, caries gigi, migrain, serta jerawat [1].
Sebagian besar --kalau tidak bisa dikatakan semua-- mitos ini sudah dibantah
oleh banyak penelitian.
Obesitas saat ini telah
menjadi momok baik secara fisik dan mental di berbagai negara, dan masyarakat
meyakini bahwa konsumsi cokelat yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya.
Akan tetapi, seperti telah dijelaskan dalam beberapa penelitian, konsumsi cokelat justru
menunjukkan korelasi dengan rendahnya Index Massa Tubuh, rendahnya jumlah lemak
total dan lemak sentral, serta rendahnya angka lingkar pinggang, baik pada
orang dewasa maupun remaja [2,3].
Alergi makanan merupakan
reaksi sistem imunitas tubuh terhadap zat atau bahan dalam makanan yang
biasanya adalah protein. Makanan alergi yang paling umum adalah susu, telur,
kacang tanah, kacang pohon, kecap, gandum, ikan dan kerang. Jarang sekali orang
yang mengalami alergi terhadap cokelat, dan hampir tidak ada publikasi ilmiah yang
berhubungan dengan alergi cokelat. Namun demikian, khusus untuk cokelat susu, karena
adanya campuran susu dan bahan-bahan lain seperti telur dan kacang, bahan-bahan
tambahan inilah yang sering menjadi penyebab dari masalah alergi yang
dilaporkan [1].
Daftar Rujukan
1. Promotion Committee 5th Meeting. Inventory of the Health and Nutritional Attributes of Cocoa and Chocolate. PRC/3/4/Rev.1. 2005. Download pdf
2. Golomb BA, Koperski S, White HL. Association between more frequent chocolate consumption and lower body mass index. Arch Intern Med 2012;172:519–21. Download pdf
3. Cuenca-García M, Ruiz RJ, Ortega FB, Castillo MJ. Association Between Chocolate Consumption And Fatness In European Adolescents. Nutrition 30 (2014) 236–239. Download pdf
Cokelat (6) : Manfaat Cokelat Bagi Kesehatan
Manfaat Cokelat Pada Sistem Kardiovaskuler
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa cokelat mempunyai efek positif terhadap penyakit kardiovaskuler. Golomb et al [1] melakukan penelitian pada 1.018 pria dan wanita dewasa (usia 20 – 85 tahun) yang tidak mempunyai riwayat penyakit kardiovaskuler, diabetes, atau angka LDL yang tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa orang dewasa yang lebih sering mengkonsumsi cokelat mempunyai angka BMI yang lebih rendah dibanding mereka yang jarang mengkonsumsi cokelat. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Cuenca-García et al [2] yang melakukan penelitian pada 1.458 remaja (umur 12,5 – 17,5 tahun) yang ikut serta dalam HELENA-CSS (Healthy Lifestyle in Europe by Nutrition in Adolescence Cross-Sectional Study).
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Buitrago-Lopez et al [3] yang melibatkan sejumlah 114.009 peserta dari 7 studi memberikan kesimpulan bahwa konsumsi cokelat yang lebih tinggi dapat menurunkan resiko gangguan kardiometabolik hingga 37% dan menurunkan resiko stroke hingga 29% dibanding mereka yang konsumsi cokelatnya sangat rendah. Meta-analisis yang dilakukan oleh Ried et al [4] juga menyimpulkan bahwa cokelat pekat juga mempunyai efek menurunkan tekanan darah pada orang dengan hipertensi maupun prehipertensi, akan tetapi tidak mempengaruhi tekanan darah pada orang dengan normotensi.
Meskipun masih menjadi bahan perdebatan, mekanisme berikut diduga berperan dalam efek positif cokelat terhadap sistem kardiovaskuler [5].
a) Kandungan asam stearat dalam cokelat.
Meskipun asam lemak jenuh telah lama diyakini berperan dalam terjadinya atherosklerosis, asam stearat diduga merupakan asam lemak jenuh yang non-atherogenik. Asam stearat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang (18:0) yang banyak ditemukan dalam daging dan produk susu. Lemak cokelat mengandung sekitar 33% asam stearat, di samping 25% asam palmitat (16:0 jenuh) dan 33% asam oleat (cis-18:1 tidak jenuh tunggal). Suatu studi serial dan suatu meta-analisis telah menunjukkan bahwa asam setarat tidak menurunkan HDL, juga tidak meningkatkan LDL maupun kolesterol total.
Jalur lain yang diduga dapat menjelaskan efek asam stearat adalah asam stearat mempunyai efek anti-platelet dan dapat menurunkan tekanan darah. Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan hasil berbeda tentang hal ini.
b) Kandungan flavonoid dalam cokelat
Beberapa penelitian menghubungkan peran flavonoid dengan hal-hal berikut: peningkatan kadar antioksidan plasma, peningkatan kolesterol HDL (kolesterol "baik") dalam plasma, penurunan trigliserida dalam plasma, penurunan penanda peroksidasi lipid, perbaikan fungsi endotel yang terkait dengan peningkatan aktivitas eNOS (endothelial Nitric Oxide Synthase), fungsi antitrombotik, serta memperbaiki tekanan darah dan fungsi insulin.
Polifenol cokelat dapat memperbaiki fungsi endothel dengan meningkatkan aktivitas NO-synthase vaskuler. Hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik. Efek penurunan tekanan darah ini lebih tampak pada penderita hipertensi daripada orang dengan tekanan darah normal. Namun demikian tentang hal ini masih terdapat perdebatan pendapat, karena penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda.
Beberapa studi menunjukkan efek anti-agregasi trombosit dari polifenol, antara lain dari Flammer et al (dikutip dari Rimbach et el [6]). Mereka menyimpulkan bahwa cokelat pekat menginduksi vasodilatasi arteri koroner, memperbaiki fungsi vaskuler koroner dan menurunkan adhesi platelet 2 jam setelah mengkonsumsi 40 gram cokelat pekat yang mengandung 70% kakao. Efek yang cepat ini disertai dengan peningkatan kadar catechin dalam plasma secara signifikan.
Manfaat Cokelat Pada Penurunan Resiko Kanker
Bukti-bukti semakin banyak bermunculan untuk mendukung dugaan bahwa kakao dan cokelat dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan resiko terjadinya beberapa jenis kanker. Penelitian menunjukkan bahwa molekul Reactive Oxygen Species (ROS) yang berhubungan dengan proses karsinogenik dihambat oleh antioksidan seperti yang ditemukan dalam kakao dan cokelat. Studi populasi telah menunjukkan bahwa orang yang secara teratur mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan seperti sayuran, buah-buahan, teh, atau produk-produk kedelai mempunyai insidensi berbagai jenis kanker yang lebih rendah. Dari sini dapat diambil kesimpulan deduktif bahwa konsumsi antioksidan, termasuk yang berasal dari kakao dan cokelat, dapat menghambat beberapa fase dari proses kompleks terjadinya kanker [7].
Manfaat Cokelat Sebagai Imunomodulator
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa kakao dan cokelat mempunyai efek terhadap sistem imunitas tubuh, baik sistem imun bawaan maupun dapatan. Kakao menunjukkan aktivitas regulatori terhadap sekresi mediator inflamasi dari makrofag dan lekosit in vitro. Studi in vivo juga mendukung efek imunomodulasi ini. Pemberian kakao jangka panjang terhadap tikus mempengaruhi fungsi imunitas intestinal maupun sistemik. Tikus muda yang diberi kakao dosis tinggi memperbaiki respon T helper 1 (Th1) dan meningkatkan jumlah limfosit T γδ intestinal. Namun demikian, mekanisme bagaimana kakao dan cokelat dapat mempengaruhi sistem imun ini belum jelas [8].
Manfaat Cokelat Pada Fungsi Kognitif dan Neuromodulator
Flavonoid telah ditunjukkan mempunyai efek meningkatkan fungsi kognitif. Secara spesifik, konsumsi cokelat secara teratur mempunyai hubungan dengan penurunan resiko demensia, memperbaiki hasil beberapa test kognitif, dan memperbaiki fungsi kognitif pada pasien usia lanjut dengan gangguan kognitif ringan. Bahkan sebuah studi menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara angka konsumsi cokelat per kapita dengan jumlah pemenang hadiah Nobel pada berbagai negara [9].
Sokolov et al [10] melakukan telaah tentang aksi neuromodulatori dan neuroprotektif dari flavanol kakao pada manusia. Flavonoid yang diabsorbsi menembus dan terakumulasi di regio otak yang berhubungan dengan pembelajaran dan memori, khususnya di hippocampus. Aksi neurobiologi flavanol diduga terjadi melalui dua jalur utama: (i) melalui interaksi langsung dengan kaskade seluler yang menghasilkan ekspresi protein neuroprotektif dan neuromodulatori yang memicu neurogenesis, fungsi saraf, dan konektivitas otak; dan (ii) melalui peningkatan aliran darah dan angiogenesis di otak dan sistem sensorik. Efek protektif dari konsumsi flavanol jangka panjang ini terhadap neurokognisi dan perilaku, termasuk penurunan kognitif terkait usia dan penyakit, telah ditunjukkan pada hewan coba dengan penuaan normal, demensia, dan stroke. Beberapa studi observasional dan intervensi pada manusia memperkuat temuan ini, namun jumlahnya masih terbatas dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Daftar Rujukan :
1. Golomb BA, Koperski S, White HL. Association between more frequent chocolate consumption and lower body mass index. Arch Intern Med 2012;172:519–21. Download pdf
2. Cuenca-García M, Ruiz RJ, Ortega FB, Castillo MJ. Association Between Chocolate Consumption And Fatness In European Adolescents. Nutrition 30 (2014) 236–239. Download pdf
3. Buitrago-Lopez A, Sanderson J, Johnson L, Warnakula S, Wood A, Di Angelantonio E, et al. Chocolate consumption and cardiometabolic disorders: systematic review and meta-analysis. BMJ 2011;343:d4488. Download pdf
4. Ried K, Sullivan T, Fakler P, Frank OR, Stocks NP. Does chocolate reduce blood pressure? A meta-analysis. BMC Medicine 2010, 8:39. Download pdf
5. Ding EL, Hutfless SM, Ding X, Girotra S. Chocolate and prevention of cardiovascular disease: a systematic review. Nutrition & Metabolism 2006, 3:2 doi:10.1186/1743-7075-3-2. Download pdf
6. Rimbach G, Melchin M, Moehring J, Wagner AE. Polyphenols from cocoa and vascular health – a critical review. Int. J. Mol. Sci. 2009, 10, 4290-4309. Download pdf
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa cokelat mempunyai efek positif terhadap penyakit kardiovaskuler. Golomb et al [1] melakukan penelitian pada 1.018 pria dan wanita dewasa (usia 20 – 85 tahun) yang tidak mempunyai riwayat penyakit kardiovaskuler, diabetes, atau angka LDL yang tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa orang dewasa yang lebih sering mengkonsumsi cokelat mempunyai angka BMI yang lebih rendah dibanding mereka yang jarang mengkonsumsi cokelat. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Cuenca-García et al [2] yang melakukan penelitian pada 1.458 remaja (umur 12,5 – 17,5 tahun) yang ikut serta dalam HELENA-CSS (Healthy Lifestyle in Europe by Nutrition in Adolescence Cross-Sectional Study).
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Buitrago-Lopez et al [3] yang melibatkan sejumlah 114.009 peserta dari 7 studi memberikan kesimpulan bahwa konsumsi cokelat yang lebih tinggi dapat menurunkan resiko gangguan kardiometabolik hingga 37% dan menurunkan resiko stroke hingga 29% dibanding mereka yang konsumsi cokelatnya sangat rendah. Meta-analisis yang dilakukan oleh Ried et al [4] juga menyimpulkan bahwa cokelat pekat juga mempunyai efek menurunkan tekanan darah pada orang dengan hipertensi maupun prehipertensi, akan tetapi tidak mempengaruhi tekanan darah pada orang dengan normotensi.
Meskipun masih menjadi bahan perdebatan, mekanisme berikut diduga berperan dalam efek positif cokelat terhadap sistem kardiovaskuler [5].
a) Kandungan asam stearat dalam cokelat.
Meskipun asam lemak jenuh telah lama diyakini berperan dalam terjadinya atherosklerosis, asam stearat diduga merupakan asam lemak jenuh yang non-atherogenik. Asam stearat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang (18:0) yang banyak ditemukan dalam daging dan produk susu. Lemak cokelat mengandung sekitar 33% asam stearat, di samping 25% asam palmitat (16:0 jenuh) dan 33% asam oleat (cis-18:1 tidak jenuh tunggal). Suatu studi serial dan suatu meta-analisis telah menunjukkan bahwa asam setarat tidak menurunkan HDL, juga tidak meningkatkan LDL maupun kolesterol total.
Jalur lain yang diduga dapat menjelaskan efek asam stearat adalah asam stearat mempunyai efek anti-platelet dan dapat menurunkan tekanan darah. Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan hasil berbeda tentang hal ini.
b) Kandungan flavonoid dalam cokelat
Beberapa penelitian menghubungkan peran flavonoid dengan hal-hal berikut: peningkatan kadar antioksidan plasma, peningkatan kolesterol HDL (kolesterol "baik") dalam plasma, penurunan trigliserida dalam plasma, penurunan penanda peroksidasi lipid, perbaikan fungsi endotel yang terkait dengan peningkatan aktivitas eNOS (endothelial Nitric Oxide Synthase), fungsi antitrombotik, serta memperbaiki tekanan darah dan fungsi insulin.
Polifenol cokelat dapat memperbaiki fungsi endothel dengan meningkatkan aktivitas NO-synthase vaskuler. Hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik. Efek penurunan tekanan darah ini lebih tampak pada penderita hipertensi daripada orang dengan tekanan darah normal. Namun demikian tentang hal ini masih terdapat perdebatan pendapat, karena penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda.
Beberapa studi menunjukkan efek anti-agregasi trombosit dari polifenol, antara lain dari Flammer et al (dikutip dari Rimbach et el [6]). Mereka menyimpulkan bahwa cokelat pekat menginduksi vasodilatasi arteri koroner, memperbaiki fungsi vaskuler koroner dan menurunkan adhesi platelet 2 jam setelah mengkonsumsi 40 gram cokelat pekat yang mengandung 70% kakao. Efek yang cepat ini disertai dengan peningkatan kadar catechin dalam plasma secara signifikan.
Manfaat Cokelat Pada Penurunan Resiko Kanker
Bukti-bukti semakin banyak bermunculan untuk mendukung dugaan bahwa kakao dan cokelat dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan resiko terjadinya beberapa jenis kanker. Penelitian menunjukkan bahwa molekul Reactive Oxygen Species (ROS) yang berhubungan dengan proses karsinogenik dihambat oleh antioksidan seperti yang ditemukan dalam kakao dan cokelat. Studi populasi telah menunjukkan bahwa orang yang secara teratur mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan seperti sayuran, buah-buahan, teh, atau produk-produk kedelai mempunyai insidensi berbagai jenis kanker yang lebih rendah. Dari sini dapat diambil kesimpulan deduktif bahwa konsumsi antioksidan, termasuk yang berasal dari kakao dan cokelat, dapat menghambat beberapa fase dari proses kompleks terjadinya kanker [7].
Manfaat Cokelat Sebagai Imunomodulator
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa kakao dan cokelat mempunyai efek terhadap sistem imunitas tubuh, baik sistem imun bawaan maupun dapatan. Kakao menunjukkan aktivitas regulatori terhadap sekresi mediator inflamasi dari makrofag dan lekosit in vitro. Studi in vivo juga mendukung efek imunomodulasi ini. Pemberian kakao jangka panjang terhadap tikus mempengaruhi fungsi imunitas intestinal maupun sistemik. Tikus muda yang diberi kakao dosis tinggi memperbaiki respon T helper 1 (Th1) dan meningkatkan jumlah limfosit T γδ intestinal. Namun demikian, mekanisme bagaimana kakao dan cokelat dapat mempengaruhi sistem imun ini belum jelas [8].
Manfaat Cokelat Pada Fungsi Kognitif dan Neuromodulator
Flavonoid telah ditunjukkan mempunyai efek meningkatkan fungsi kognitif. Secara spesifik, konsumsi cokelat secara teratur mempunyai hubungan dengan penurunan resiko demensia, memperbaiki hasil beberapa test kognitif, dan memperbaiki fungsi kognitif pada pasien usia lanjut dengan gangguan kognitif ringan. Bahkan sebuah studi menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara angka konsumsi cokelat per kapita dengan jumlah pemenang hadiah Nobel pada berbagai negara [9].
Sokolov et al [10] melakukan telaah tentang aksi neuromodulatori dan neuroprotektif dari flavanol kakao pada manusia. Flavonoid yang diabsorbsi menembus dan terakumulasi di regio otak yang berhubungan dengan pembelajaran dan memori, khususnya di hippocampus. Aksi neurobiologi flavanol diduga terjadi melalui dua jalur utama: (i) melalui interaksi langsung dengan kaskade seluler yang menghasilkan ekspresi protein neuroprotektif dan neuromodulatori yang memicu neurogenesis, fungsi saraf, dan konektivitas otak; dan (ii) melalui peningkatan aliran darah dan angiogenesis di otak dan sistem sensorik. Efek protektif dari konsumsi flavanol jangka panjang ini terhadap neurokognisi dan perilaku, termasuk penurunan kognitif terkait usia dan penyakit, telah ditunjukkan pada hewan coba dengan penuaan normal, demensia, dan stroke. Beberapa studi observasional dan intervensi pada manusia memperkuat temuan ini, namun jumlahnya masih terbatas dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Daftar Rujukan :
1. Golomb BA, Koperski S, White HL. Association between more frequent chocolate consumption and lower body mass index. Arch Intern Med 2012;172:519–21. Download pdf
2. Cuenca-García M, Ruiz RJ, Ortega FB, Castillo MJ. Association Between Chocolate Consumption And Fatness In European Adolescents. Nutrition 30 (2014) 236–239. Download pdf
3. Buitrago-Lopez A, Sanderson J, Johnson L, Warnakula S, Wood A, Di Angelantonio E, et al. Chocolate consumption and cardiometabolic disorders: systematic review and meta-analysis. BMJ 2011;343:d4488. Download pdf
4. Ried K, Sullivan T, Fakler P, Frank OR, Stocks NP. Does chocolate reduce blood pressure? A meta-analysis. BMC Medicine 2010, 8:39. Download pdf
5. Ding EL, Hutfless SM, Ding X, Girotra S. Chocolate and prevention of cardiovascular disease: a systematic review. Nutrition & Metabolism 2006, 3:2 doi:10.1186/1743-7075-3-2. Download pdf
6. Rimbach G, Melchin M, Moehring J, Wagner AE. Polyphenols from cocoa and vascular health – a critical review. Int. J. Mol. Sci. 2009, 10, 4290-4309. Download pdf
7. Promotion Committee 5th
Meeting. Inventory of the Health and
Nutritional Attributes of Cocoa and Chocolate. PRC/3/4/Rev.1. 2005. Download pdf
8. Ramiro-Puig E, Castell M. Cocoa : antioxidant and
immunomodulator. British Journal of
Nutrition (2009), 101, 931-940. Download pdf
9. Messerli FH. Chocolate
Consumption, Cognitive Function, and Nobel
Laureates. N Engl J Med 2012. 367;16:
1562-1564. Download pdf
10. Sokolov
AN, Pavlova MA, Klosterhalfen S, Enck P. Chocolate and the brain:
Neurobiological impact of cocoa flavanols on cognition and behavior. Neuroscience and Biobehavioral Reviews
37 (2013) 2445–2453. Download pdf
26 September 2015
Cokelat (5) : Polifenol Dalam Cokelat
Biji kakao mengandung sejumlah
besar senyawa fitokimia, yaitu suatu senyawa fisiologis aktif yang ditemukan
pada tumbuhan. Salah satu kelompok senyawa ini disebut polifenol dengan
sub-kelompok terbesar adalah flavonoid, dan telah terbukti memiliki sifat
antioksidan. Biji kakao mengandung
sekitar 6 – 8% polifenol (dari berat kering). Polifenol yang
teridentifikasi dari biji kakao dan produknya terutama terdiri dari catechin,
flavonol glycoside, anthocyanin, dan procyanidin [1,2].
Menurut Hii et al,
dalam setiap tahap pengolahan biji kakao hingga menjadi cokelat, kadar
polifenol akan berkurang. Pada saat fermentasi dan pengeringan, kadar polifenol
dipengaruhi oleh adanya reaksi browning
enzimatis, di samping proses non-enzimatik seperti difusi. Mereka juga
menyimpulkan bahwa pengeringan beku (freeze
drying) yang diikuti dengan uap panas dan pengeringan di bawah matahari
memberikan efek paling baik dalam mempertahankan kadar polifenol [1]. Namun kadar
polifenol yang tinggi akan menghasilkan produk dengan rasa pahit yang lebih
kuat sehingga kurang disukai. Proses alkalisasi dan roasting juga mempengaruhi
kadar polifenol dalam cokelat. Peningkatan pH akan menurunkan kadar dan
aktivitas antioxidant polifenol, menyebabkan kehilangan flavonoid hingga 60%.
Roasting dengan temperatur tinggi atau dalam waktu yang lebih lama akan
menyebabkan pengurangan kadar polifenol secara signifikan.
Flavanol (disebut juga flavan-3-ol) dapat ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada beberapa buah-buahan dan sayuran, teh, jus anggur, wine, berbagai
jenis berri, termasuk cokelat. Di antara semuanya, cokelat menempati urutan
teratas dalam hal kandungan flavanol, seperti tampak pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan flavanol
dalam beberapa tumbuhan [3].
Aktivitas biologis dari polifenol dalam cokelat tergantung terutama pada
bioavailabilitasnya, yang sudah diukur melalui beberapa penelitian pada
manusia. Flavonoid monomerik, seperti halnya bentuk dimerik dan trimerik dari
procyanidin dapat ditemukan dalam plasma manusia setelah mengkonsumsi cokelat
atau minuman kaya cokelat. Kadar puncak dalam plasma ditemukan 2-3 jam setelah
dikonsumsi, dan masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 8 jam kemudian.
Kadarnya sering ditemukan dalam nanomolar atau micromolar.
Bioavailabilitas polifenol ini dipengaruhi oleh matrix makanan. Kadar flavanol dan aktivitas antioxidannya berkurang secara bermakna jika dikonsumsi bersama susu, atau jika cokelat dikonsumsi dalam bentuk cokelat susu. Namun demikian hal ini masih diperdebatkan, karena ada penelitian lain yang menunjukkan hasil sebaliknya. Makanan yang tinggi lipid dan protein tidak mempengaruhi bioavalabilitas polifenol, namun uptake flavonol pada manusia akan meningkat secara signifikan jika dkonsumsi bersamaan dengan karbohidrat [2, 3]. Di samping ukuran molekul, terdapat faktor penting lain yang ikut mempengaruhi efikasi polifenol in vivo, yaitu konversi metaboliknya di sel-sel intestinal, liver, dan jaringan lain; ikatannya terhadap protein; akumulasinya dalam sel; dan kecepatan eliminasinya dalam urine [3].
Bioavailabilitas polifenol ini dipengaruhi oleh matrix makanan. Kadar flavanol dan aktivitas antioxidannya berkurang secara bermakna jika dikonsumsi bersama susu, atau jika cokelat dikonsumsi dalam bentuk cokelat susu. Namun demikian hal ini masih diperdebatkan, karena ada penelitian lain yang menunjukkan hasil sebaliknya. Makanan yang tinggi lipid dan protein tidak mempengaruhi bioavalabilitas polifenol, namun uptake flavonol pada manusia akan meningkat secara signifikan jika dkonsumsi bersamaan dengan karbohidrat [2, 3]. Di samping ukuran molekul, terdapat faktor penting lain yang ikut mempengaruhi efikasi polifenol in vivo, yaitu konversi metaboliknya di sel-sel intestinal, liver, dan jaringan lain; ikatannya terhadap protein; akumulasinya dalam sel; dan kecepatan eliminasinya dalam urine [3].
Daftar Rujukan :
1. Hii
CL, Law CL, Suzannah S, Misnawi, Cloke M. Polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.). As. J. Food Ag-Ind. 2009, 2(04), 702-722. Download pdf
2. Rimbach
G, Melchin M, Moehring J, Wagner AE. Polyphenols from cocoa and vascular health
– a critical review. Int. J. Mol. Sci. 2009, 10, 4290-4309. Download pdf
3. Corti R, Flammer AJ, Hollenberg
NK, Lüscher TF. Cocoa and cardiovascular health. Circulation. 2009;119:1433-1441. Download pdf
Cokelat (4) : Kandungan Gizi Dalam Cokelat
Cokelat pekat (dark chocolate) mengandung paling banyak pasta cokelat dan oleh karena itu mengandung paling banyak komponen alami dalam biji kakao, yang memberikan rasa pahit pada cokelat. Sementara itu cokelat susu mengandung komponen biji kakao dalam jumlah yang lebih sedikit karena sudah mengalami pengenceran oleh adanya susu.
Komponen gizi dalam cokelat adalah sebagai berikut [1] :
1. Karbohidrat
Secara alami karbohidrat dalam kakao terdapat dalam bentuk pati dan serat. Namun dalam cokelat susu, gula yang ditambahkan menjadikannya bagian terbesar karbohidrat dalam produk akhir, yang berkontribusi terhadap jumlah kalori dalam kakao dan cokelat.
2. Protein
Kakao juga mengandung beberapa protein, akan tetapi kadarnya dalam cokelat pekat sangat kecil. Pada cokelat susu, kandungan proteinnya meningkat oleh karena adanya protein dalam susu.
3. Lemak
Biji kakao dan pasta cokelat mengandung sekitar 50% lemak. Lemak ini terdiri dari dua asam lemak jenuh yaitu asam palmitat dan asam stearat, serta satu asam lemak tidak jenuh tunggal yaitu asam oleat. Ada juga komponen asam lemak lainnya, akan tetapi jumlahnya kecil, kurang dari 5%.
4. Mineral
Kakao merupakan sumber yang kaya untuk beberapa mineral esensial seperti magnesium, tembaga, kalium, mangan, natrium, kalsium, besi, fosfor, dan zink, yang memberikan peran penting dalam fisiologi tubuh manusia. Tembaga dalam diet dipercaya berkontribusi dalam pencegahan pencegahan penyakit jantung, dan cokelat diakui sebagai salah satu sumber tembaga terbesar dalam diet orang dewasa di USA. Di samping itu cokelat susu juga mengandung kalsium dan dapat menjadi salah satu sumber penting untuk kalsium.
5. Vitamin
Kakao mengandung vitamin E dan beberapa vitamin B kompleks (thiamin, riboflavin, niasin). Lemak cokelat mengandung vitamin A dan E. Susu dalam cokelat susu memberikan tambahan beberapa vitamin, khususnya riboflavin dan vitamin B12.
6. Kelompok senyawa polifenol
Seperti produk tanaman lainnya termasuk teh, anggur merah, buah-buahan, sayuran dan kacang-kacangan, biji kakao juga mengandung sekelompok senyawa alami yang dalam banyak penelitian terbukti memberi manfaat bagi kesehatan. Kelompok senyawa ini disebut polifenol, dengan sub-kelompok terbesar dalam kakao adalah flavonoid.
Berbagai varietas kakao mengandung tingkat flavanol yang berbeda. Cara pengolahan cokelat juga dapat mempengaruhi tingkat flavanol dalam produk akhir. Produk yang berbeda, karena dibuat dengan resep yang berbeda, juga akan memiliki kadar flavanol yang berbeda. Secara umum, cokelat pekat mengandung flavanol dalam jumlah paling tinggi karena kandungan kakaonya paling tinggi. Dalam proses pengolahan biji kakao menjadi cokelat, beberapa senyawa flavonoid ini dapat rusak karena suhu dan perubahan kimia.
Cokelat merupakan sumber energi dan mengandung mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun untuk penggantian energi. Oleh karena bentuknya yang padat dan mudah dibawa kemana-mana, cokelat dapat menjadi sumber karbohidrat dan bahan bakar yang baik bagi atlet baik dalam latihan maupun kompetisi. Energi yang terkandung dalam cokelat susu adalah sekitar 2000 kJ atau 500 kcal per 100 gram.
Di samping mengandung senyawa-senyawa nutrient seperti tersebut di atas, cokelat juga merupakan makanan yang lezat dan memiliki rasa yang unik dan palatabilitas, dengan sensasi khusus mencair di lidah. Diperkirakan ada setidaknya 300 komponen kimia alami dalam cokelat yang menghasilkan rentang rasa yang kompleks yang terhubung dengan otak saat mengenai reseptor di lidah. Di samping itu, kandungan lemak dan karbohidrat dalam cokelat menambah daya tariknya melalui peningkatan rasa manis dan tekstur. Pelepasan energi secara lambat dan adanya perasaan nyaman yang dipicu oleh kandungan gula dan teksturnya meningkatkan level energi dan perasaan nyaman. Pada dasarnya, alasan utama mengapa orang mengkonsumsi cokelat adalah karena rasanya yang nikmat ini.
Daftar Rujukan :
1. Promotion Committee 5th Meeting. Inventory of the Health and Nutritional Attributes of Cocoa and Chocolate. PRC/3/4/Rev.1. 2005. Download pdf
Komponen gizi dalam cokelat adalah sebagai berikut [1] :
1. Karbohidrat
Secara alami karbohidrat dalam kakao terdapat dalam bentuk pati dan serat. Namun dalam cokelat susu, gula yang ditambahkan menjadikannya bagian terbesar karbohidrat dalam produk akhir, yang berkontribusi terhadap jumlah kalori dalam kakao dan cokelat.
2. Protein
Kakao juga mengandung beberapa protein, akan tetapi kadarnya dalam cokelat pekat sangat kecil. Pada cokelat susu, kandungan proteinnya meningkat oleh karena adanya protein dalam susu.
3. Lemak
Biji kakao dan pasta cokelat mengandung sekitar 50% lemak. Lemak ini terdiri dari dua asam lemak jenuh yaitu asam palmitat dan asam stearat, serta satu asam lemak tidak jenuh tunggal yaitu asam oleat. Ada juga komponen asam lemak lainnya, akan tetapi jumlahnya kecil, kurang dari 5%.
4. Mineral
Kakao merupakan sumber yang kaya untuk beberapa mineral esensial seperti magnesium, tembaga, kalium, mangan, natrium, kalsium, besi, fosfor, dan zink, yang memberikan peran penting dalam fisiologi tubuh manusia. Tembaga dalam diet dipercaya berkontribusi dalam pencegahan pencegahan penyakit jantung, dan cokelat diakui sebagai salah satu sumber tembaga terbesar dalam diet orang dewasa di USA. Di samping itu cokelat susu juga mengandung kalsium dan dapat menjadi salah satu sumber penting untuk kalsium.
5. Vitamin
Kakao mengandung vitamin E dan beberapa vitamin B kompleks (thiamin, riboflavin, niasin). Lemak cokelat mengandung vitamin A dan E. Susu dalam cokelat susu memberikan tambahan beberapa vitamin, khususnya riboflavin dan vitamin B12.
6. Kelompok senyawa polifenol
Seperti produk tanaman lainnya termasuk teh, anggur merah, buah-buahan, sayuran dan kacang-kacangan, biji kakao juga mengandung sekelompok senyawa alami yang dalam banyak penelitian terbukti memberi manfaat bagi kesehatan. Kelompok senyawa ini disebut polifenol, dengan sub-kelompok terbesar dalam kakao adalah flavonoid.
Berbagai varietas kakao mengandung tingkat flavanol yang berbeda. Cara pengolahan cokelat juga dapat mempengaruhi tingkat flavanol dalam produk akhir. Produk yang berbeda, karena dibuat dengan resep yang berbeda, juga akan memiliki kadar flavanol yang berbeda. Secara umum, cokelat pekat mengandung flavanol dalam jumlah paling tinggi karena kandungan kakaonya paling tinggi. Dalam proses pengolahan biji kakao menjadi cokelat, beberapa senyawa flavonoid ini dapat rusak karena suhu dan perubahan kimia.
Cokelat merupakan sumber energi dan mengandung mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun untuk penggantian energi. Oleh karena bentuknya yang padat dan mudah dibawa kemana-mana, cokelat dapat menjadi sumber karbohidrat dan bahan bakar yang baik bagi atlet baik dalam latihan maupun kompetisi. Energi yang terkandung dalam cokelat susu adalah sekitar 2000 kJ atau 500 kcal per 100 gram.
Di samping mengandung senyawa-senyawa nutrient seperti tersebut di atas, cokelat juga merupakan makanan yang lezat dan memiliki rasa yang unik dan palatabilitas, dengan sensasi khusus mencair di lidah. Diperkirakan ada setidaknya 300 komponen kimia alami dalam cokelat yang menghasilkan rentang rasa yang kompleks yang terhubung dengan otak saat mengenai reseptor di lidah. Di samping itu, kandungan lemak dan karbohidrat dalam cokelat menambah daya tariknya melalui peningkatan rasa manis dan tekstur. Pelepasan energi secara lambat dan adanya perasaan nyaman yang dipicu oleh kandungan gula dan teksturnya meningkatkan level energi dan perasaan nyaman. Pada dasarnya, alasan utama mengapa orang mengkonsumsi cokelat adalah karena rasanya yang nikmat ini.
Daftar Rujukan :
1. Promotion Committee 5th Meeting. Inventory of the Health and Nutritional Attributes of Cocoa and Chocolate. PRC/3/4/Rev.1. 2005. Download pdf
Cokelat (3) : Jenis-Jenis Cokelat
Berdasarkan kualitasnya serta prosesnya ada beberapa jenis cokelat yang dapat dikelompokkan menjadi [1] :
1. Cokelat couverture
Cokelat couverture mempunyai kadar cocoa butter sangat tinggi karena dimasak dengan 100 % cocoa butter. Cokelat couverture mempunyai penampakan mengkilap, konsentrasi leleh yang bagus dan cita rasa cokelat asli sangat enak. Cokelat ini umumnya digunakan untuk melapisi cake, dicetak, untuk topping serta untuk dekorasi atau hiasan. Cokelat couverture mempunyai harga relatif lebih mahal dibandingkan jenis cokelat lain.
2. Cokelat compound
Cokelat compound merupakan pasta cokelat yang dimasak dengan lemak cokelat yang dicampur lemak nabati seperti minyak kelapa. Tujuan penambahan lemak nabati adalah untuk meningkatkan titik didih cokelat agar tak mudah lumer. Hal ini banyak dipakai di negara-negara tropis. Penggunaan cokelat compound tidak terlalu berbeda dengan cokelat couverture, yaitu untuk campuran kue, saus, topping, praline, truffle, fondue, dan lain-lain. Perbedaan cokelat compound dengan cokelat couverture adalah cokelat couverture lebih lembut dan gampang lumernya.
Salah satu jenis cokelat compound yang terkenal di pasaran adalah dark cooking chocolate, yaitu cokelat masak polos tanpa bahan tambahan susu. Warnanya lebih hitam dan mempunyai cita rasa pahit karena dihasilkan dari rasa asli dari cokelat itu sendiri. Dark cooking chocolate terbuat dari pasta cokelat dan 50% lemak cokelat.
3. Sweetened chocolate
Penambahan gula pada proses pengolahan pasta cokelat akan menghasilkan sweetened chocolate. Jika yang ditambahkan hanya gula maka disebut sweet chocolate, sedangkan jika ditambahkan juga susu akan menghasilkan milk chocolate. Sweet chocolate mengandung sedikitnya 15% pasta cokelat dan 60% gula; sedangkan milk chocolate mengandung 10% pasta cokelat, 12% susu, serta lebih dari 50% gula. Milk chocolate mempunyai flavor cokelat yang rendah sehingga hanya dikonsumsi secara langsung dan tidak digunakan sebagai ingredien pangan.
4. Cokelat bubuk (chocolate powder)
Cokelat bubuk berasal dari pasta cokelat yang dihilangkan 10-25% lemaknya dan mempunyai flavor asam atau flavor cokelat alami. Warna cokelat bubuk beragam mulai dari yang cokelat kemerahan sampai dengan cokelat kehitaman. Cokelat bubuk biasa dipakai untuk minuman dan campuran cake serta cookies.
Daftar Rujukan :
1. Aini N. Lebih dekat dengan cokelat. Kulinologi Indonesia Vol. III No 02. 2011 : 7-11. Download pdf
1. Cokelat couverture
Cokelat couverture mempunyai kadar cocoa butter sangat tinggi karena dimasak dengan 100 % cocoa butter. Cokelat couverture mempunyai penampakan mengkilap, konsentrasi leleh yang bagus dan cita rasa cokelat asli sangat enak. Cokelat ini umumnya digunakan untuk melapisi cake, dicetak, untuk topping serta untuk dekorasi atau hiasan. Cokelat couverture mempunyai harga relatif lebih mahal dibandingkan jenis cokelat lain.
2. Cokelat compound
Cokelat compound merupakan pasta cokelat yang dimasak dengan lemak cokelat yang dicampur lemak nabati seperti minyak kelapa. Tujuan penambahan lemak nabati adalah untuk meningkatkan titik didih cokelat agar tak mudah lumer. Hal ini banyak dipakai di negara-negara tropis. Penggunaan cokelat compound tidak terlalu berbeda dengan cokelat couverture, yaitu untuk campuran kue, saus, topping, praline, truffle, fondue, dan lain-lain. Perbedaan cokelat compound dengan cokelat couverture adalah cokelat couverture lebih lembut dan gampang lumernya.
Salah satu jenis cokelat compound yang terkenal di pasaran adalah dark cooking chocolate, yaitu cokelat masak polos tanpa bahan tambahan susu. Warnanya lebih hitam dan mempunyai cita rasa pahit karena dihasilkan dari rasa asli dari cokelat itu sendiri. Dark cooking chocolate terbuat dari pasta cokelat dan 50% lemak cokelat.
3. Sweetened chocolate
Penambahan gula pada proses pengolahan pasta cokelat akan menghasilkan sweetened chocolate. Jika yang ditambahkan hanya gula maka disebut sweet chocolate, sedangkan jika ditambahkan juga susu akan menghasilkan milk chocolate. Sweet chocolate mengandung sedikitnya 15% pasta cokelat dan 60% gula; sedangkan milk chocolate mengandung 10% pasta cokelat, 12% susu, serta lebih dari 50% gula. Milk chocolate mempunyai flavor cokelat yang rendah sehingga hanya dikonsumsi secara langsung dan tidak digunakan sebagai ingredien pangan.
4. Cokelat bubuk (chocolate powder)
Cokelat bubuk berasal dari pasta cokelat yang dihilangkan 10-25% lemaknya dan mempunyai flavor asam atau flavor cokelat alami. Warna cokelat bubuk beragam mulai dari yang cokelat kemerahan sampai dengan cokelat kehitaman. Cokelat bubuk biasa dipakai untuk minuman dan campuran cake serta cookies.
Daftar Rujukan :
1. Aini N. Lebih dekat dengan cokelat. Kulinologi Indonesia Vol. III No 02. 2011 : 7-11. Download pdf
Cokelat (2) : Pengolahan Biji Kakao Menjadi Cokelat
Proses pengolahan biji kakao hingga menjadi cokelat menentukan mutu produk akhir, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon cita rasa khas kakao dan pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan sepat. Proses ini terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut [1,2]:
1. Persiapan biji kakao (cocoa bean)
Langkah ini meliputi:
a) Pemeraman buah
Buah yang telah dipanen dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan kelas kematangannya. Biasanya dilakukan pemeraman untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan pengeluaran biji dari buah kakao. Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh, lamanya sekitar 5-7 hari.
b) Pemecahan buah
Buah kakao dipecah atau dibelah untuk mendapatkan biji kakao. Pemecahan buah dapat menggunakan pemukul kayu atau memukulkan buah satu dengan buah lainnya. Perlu diingat untuk menghindari kontak langsung biji kakao dengan benda-benda logam karena dapat menyebabkan warna biji kakao menjadi kelabu. Biji kakao dikeluarkan lalu dimasukkan dalam ember plastik atau wadah lain yang bersih, sedang empulur yang melekat pada biji dibuang.
c) Fermentasi
Tujuan fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji dan untuk melepaskan selaput lendir. Selain itu untuk menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur. Fermentasi memerlukan waktu 6 hari. Dalam proses fermentasi terjadi penurunan berat sampai 25%.
d) Perendaman dan Pencucian
Tujuan perendaman dan pencucian adalah untuk menghentikan proses fermentasi dan memperbaiki kenampakan biji. Perendaman berpengaruh terhadap proses pengeringan dan rendemen. Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut sehingga kulitnya lebih tipis dan rendemennya berkurang, sehingga proses pengeringan menjadi lebih cepat. Setelah perendaman, dilakukan pencucian untuk mengurangi sisa-sisa lendir yang masih menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji, karena jika biji masih terdapat lendir maka biji akan mudah menyerap air dari udara sehingga mudah terserang jamur dan akan memperlambat proses pengeringan.
e) Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam biji dari 60% sampai pada kondisi kadar air dalam biji tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji tidak ditumbuhi cendawan. Pengeringan dapat dilakukan dengan dengan menjemur di bawah sinar matahari atau secara buatan dengan menggunakan mesin pengering atau kombinasi keduanya. Dengan sinar matahari dibutuhkan waktu 2-3 hari, tergantung kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi 7-8%. Sedangkan dengan pengeringan buatan berlangsung pada temperatur 65 – 68 °C.
f) Penyortiran / Pengelompokan
Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan berdasarkan mutunya. Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu rapuh dan tidak mudah rusak, sortasi dapat dilakukan dengan menggunakan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran.
Pengelompokan kakao berdasarkan mutu :
• Mutu A : dalam 100 g biji terdapat 90-100 butir biji
• Mutu B : dalam 100 g biji terdapat 100-110 butir biji
• Mutu C : dalam 100 g biji terdapat 110-120 butir biji
g) Penyimpanan
Biji kakao kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap karung goni diisi 60 kg biji kakao kering kemudian karung tersebut disimpan dalam ruangan yang bersih, kering dan memiliki lubang pergantian udara. Antara lantai dan wadah biji kakao diberi jarak ± 8 cm dan jarak dari dinding ± 60 cm. Biji kakao dapat disimpan selama ± 3 bulan.
2. Pembuatan pasta cokelat
Pembuatan pasta cokelat melibatkan tahapan proses pembersihan biji, pemisahan kulit dan penyangraian. Pembersihan ditujukan untuk mengeluarkan pengotor yang mungkin terbawa, seperti pasir, batu, partikel-partikel tanaman dan sebagainya. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan. Jika pengotor yang keras potensial untuk merusak peralatan proses, maka pengotor organik bisa merusak flavor cokelat selama proses penyangraian.
Proses penyangraian biji kakao dilakukan pada suhu maksimal 150 °C selama 10 – 35 menit, tergantung dari tujuan akhir penggunaan biji. Biji yang akan diolah menjadi cokelat membutuhkan proses sangrai yang lebih intensif dibandingkan dengan biji yang akan diolah untuk menjadi cokelat bubuk (cocoa powder).
Selama proses penyangraian, kadar air biji turun menjadi sekitar 2% dan terjadi pembentukan flavor cokelat. Biji akan berwarna lebih gelap dengan tekstur yang lebih rapuh dan kulit menjadi lebih mudah dipisah dari daging biji (nib). Penyangraian juga akan mempermudah proses ekstraksi lemak. Selain itu, panas selama penyangraian juga berperan untuk membunuh kontaminan yang mungkin terikut dari tahapan sebelumnya. Biji yang telah disangrai secepatnya didinginkan untuk mencegah pemanasan yang berlebihan, selanjutnya dihancurkan dan dipisahkan dari kulit ari dan lembaganya dengan menggunakan teknik hembusan udara (menampi secara mekanis).
Setelah penyangraian, biji kakao (nib) mengalami proses penggilingan (pelumatan). Proses ini dilakukan secara bertingkat sebanyak 2 – 3 tahap untuk memperoleh pasta cokelat (cocoa liquor atau cocoa mass) dengan tingkat kehalusan tertentu. Pada pembuatan pasta cokelat, kadang juga dilakukan proses alkalisasi sebelum proses penggilingan. Tujuan proses alkalisasi adalah untuk melembutkan flavor dengan menetralkan sebagian asam-asam bebas, juga untuk memperbaiki warna, daya basah (wettability) dan dispersibilitas cokelat bubuk (cocoa powder) sehingga mencegah pembentukan endapan dalam minuman cokelat.
3. Pembuatan cokelat bubuk (cocoa powder) dan lemak cokelat (cocoa butter).
Untuk memperoleh cokelat bubuk, maka sebagian lemak cokelat yang ada dalam pasta cokelat harus dikeluarkan. Proses pengeluaran lemak dilakukan dengan mengepress pasta menggunakan pengepress (hidraulik atau mekanis) pada tekanan 400 – 500 bar dan suhu 90 – 100 °C. Lemak cokelat panas dilewatkan ke filter press untuk memisahkannya dari kotoran yang mungkin terbawa, untuk selanjutnya dicetak dan didinginkan. Lemak cokelat ini digunakan oleh industri cokelat.
Bungkil biji hasil dari pengepressan dihaluskan dengan menggunakan alat penghalus (breaker) dan diayak untuk memperoleh ukuran partikel bubuk yang seragam. Kadar lemak di dalam cokelat bubuk berkisar antara 10 – 22%. Bubuk cokelat dengan kadar lemak yang lebih tinggi biasanya memiliki warna yang lebih gelap dan flavor yang lebih ringan. Cokelat bubuk ini digunakan dalam berbagai produk pangan, misalnya untuk membuat minuman cokelat, bahan untuk cake, puding, ice cream dan sebagainya.
4. Pembuatan cokelat (chocolate)
Cokelat dibuat dengan menggunakan pasta cokelat yang ditambahkan dengan sukrosa, lemak cokelat, dengan atau tanpa susu dan bahan-bahan lain (flavoring agent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya). Bahan-bahan ini dicampur dalam sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan pasta cokelat yang kental yang selanjutnya mengalami proses pelembutan (refining) dengan mesin tipe roll sampai diperoleh massa cokelat dengan tekstur yang halus (ukuran partikel kurang dari 20 μm).
Massa cokelat hasil dari refining berbentuk bubuk dan kering pada suhu ruang dengan flavor yang asam. Untuk memperbaiki konsistensi tekstur dan flavornya, maka massa cokelat kadang-kadang diperam selama 24 jam pada suhu hangat (45 – 50 °C) sebelum masuk ke tahapan proses penghalusan (conching). Proses penghalusan adalah proses pencampuran untuk menghasilkan cokelat dengan flavor yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya dilakukan dua tahap, proses dilakukan pada suhu 80 °C selama 24 – 96 jam. Adonan cokelat dihaluskan terus-menerus dan lesitin ditambahkan pada akhir conching untuk mengurangi kekentalan cokelat. Pada tahapan ini, air dan senyawa pengganggu flavor menguap, lemak kakao akan menyelimuti partikel cokelat, gula dan susu secara sempurna sehingga memberikan sensasi tekstur yang halus.
Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang dilakukan untuk memperoleh cokelat yang stabil, karena akan menghasilkan kristal-kristal lemak berukuran kecil dengan titik leleh yang tinggi. Adonan lemak cair didinginkan dari 50 °C menjadi 18 °C dalam waktu 10 menit dengan pengadukan konstan. Adonan lalu didiamkan di suhu dingin selama sekitar 10 menit untuk membentuk lemak cokelat dengan kristal tipe yang bersifat stabil. Suhu selanjutnya dinaikkan menjadi 29 – 31 °C, dalam waktu 5 menit. Proses ini bisa bervariasi, tergantung komposisi bahan yang digunakan.
Sebelum pencetakan, suhu cokelat cair dijaga pada 30 – 32 °C untuk dibawa ke wadah-wadah pencetakan. Selanjutnya, dilakukan pendinginan lambat untuk memadatkan cokelat dan cokelat dikeluarkan dari cetakan setelah suhu mencapai 10 °C. Proses pendinginan terkontrol akan menghasilkan cokelat padat dengan kristal lemak yang halus dan struktur yang stabil terhadap panas, terlihat dari sifat lelehnya yang baik dan permukaan yang mengkilap.
Daftar Rujukan :
1. Departemen
Perindustrian. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Sekretaris Jendral
Departemen Peindustrian Republik Indonesia, 2007. Download pdf
2. Syamsir E. Mengenal proses
pembuatan cokelat. Kulinologi Indonesia
Vol. III No 02. 2011 : 12-17. Download pdf
Cokelat (1) : Sejarah Tanaman Cokelat
Indonesia merupakan negara
penghasil kakao terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun
sayangnya, dari segi produktivitas Indonesia masih berada di bawah
produktivitas rata-rata negara lain penghasil kakao. Selama ini kakao lebih
banyak diekspor dalam wujud biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya,
sehingga nilai tambahnya secara ekonomis hanya sedikit [1].
Konsumsi
produk cokelat per kapita di Indonesia masih sangat rendah, lebih rendah dari
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Produksi kakao di
Indonesia mencapai 722 ribu ton per tahun atau setara dengan 18% dari total
produksi kakao dunia, namun konsumsi kakao (cokelat) di Indonesia masih pada
angka 0,3 kg per kapita. Angka ini jauh lebih rendah daripada Swiss yang
mencapai 15 kg per kapita atau Malaysia dan Singapura yang hampir mendekati 1
kg per kapita [2].
Kakao yang merupakan bahan
dasar cokelat sudah sejak berabad-abad yang lalu dikenal tidak hanya karena
rasanya yang enak tetapi juga karena pengaruh positifnya terhadap kesehatan.
Suku bangsa Inca meyakini bahwa cokelat adalah minuman dewa, dan dari sinilah
nama ilmiah untuk pohon kakao diambil, yaitu Theobroma cacao. Theos berarti dewa dan broma berarti minuman [3].
Kakao diperkirakan mula-mula
tumbuh di daerah Amazon utara sampai ke Amerika Tengah, mungkin sampai ke
Chiapas, bagian paling selatan Meksiko. Orang-orang Olmec memanfaatkan pohon
dan, mungkin juga, membuat "cokelat" di sepanjang pantai teluk di
selatan Meksiko. Dokumentasi paling awal tentang cokelat ditemukan pada
penggunaannya di sebuah situs pengolahan cokelat di Puerto Escondido, Honduras
sekitar tahun 1400 - 1100 SM. Residu yang diperoleh dari tangki-tangki
pengolahan ini mengindikasikan bahwa awalnya penggunaan kakao tidak hanya
diperuntukkan untuk membuat minuman, namun selaput putih yang terdapat pada
biji kakao lebih condong digunakan sebagai sumber gula untuk minuman
beralkohol. Residu cokelat yang ditemukan pada tembikar yang digunakan oleh suku
Maya kuno di Río Azul, Guatemala Utara, menunjukkan bahwa Suku Maya meminum
cokelat pada sekitar tahun 400 SM. Peradaban pertama yang mendiami daerah
Meso-Amerika itu mengenal pohon "kakawa" yang buahnya dikonsumsi
sebagai minuman ''xocolatl'' yang berarti minuman pahit. Menurut mereka,
minuman ini perlu dikonsumsi setiap hari, entah untuk alasan apa. Namun,
tampaknya cokelat juga menjadi simbol kemakmuran [4].
Tanaman kakao merupakan salah satu anggota genus theobroma. Sistematika
kakao adalah sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Docutyledone
Ordo : Malvaies
Familia : Sterculiceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma
cacao, L.
Tanaman kakao tumbuh subur di hutan-hutan dataran
rendah dan hidup di bawah naungan pohon-pohon yang tinggi. Pertumbuhan tanaman
kakao banyak dipengaruhi oleh kesuburan tanah, kelembaban, suhu, dan curah
hujan. Adanya angin, musim kering, dan perubahan-perubahan iklim berpengaruh
terhadap berbuahnya tanaman kakao.
Daftar Rujukan
1. Departemen Perindustrian. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Sekretaris Jendral Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta, 2007. Download pdf
2. http://finance.detik.com/read/2014/01/13/144957/2466204/1036/jadi-lumbung
kakao-dunia-konsumsi-cokelat-orang-indonesia-sangat-rendah. Diakses 20 Februari 2014.
3. Corti R, Flammer AJ, Hollenberg
NK, Lüscher TF. Cocoa and cardiovascular health. Circulation. 2009;119:1433-1441. Download pdf
4. Aqsa
R. Sejarah dan Manfaat Coklat. April
2013. http://www.4shared.com/get/LEUIe8am/Sejarah__Manfaat_Coklat.html. Diakses 20 April 2014. Download pdf
Langganan:
Postingan (Atom)