14 Agustus 2016

Tata Laksana Gizi Pada Pasien Chronic Kidney Disease

Definisi dan klasifikasi

Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang muncul selama > 3 bulan yang berdampak pada kesehatan. Kriteria CKD adalah adanya kerusakan ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR). Kerusakan ginjal ditandai dengan adanya salah satu atau lebih hal-hal berikut: albuminuria ≥ 30 mg/24 jam, abnormalitas sedimen urin, gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan lain akibat abnormalitas tubulus, kelainan histologis, kelainan struktural yang terlihat pada pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal. Penurunan GFR ditandai dengan hasil pemeriksaan GFR < 60 ml/menit/1,73m2.[1]

Pada tahun 2002, Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) menyusun suatu klasifikasi CKD yang membaginya ke dalam 5 stage (Tabel 1).[2] Klasifikasi ini kemudian direvisi pada tahun 2012 dengan memasukkan albuminuria atau albumin excretion rate (AER) sebagai penanda kerusakan ginjal (Tabel 2).[1]


Epidemiologi

Prevalensi CKD bervariasi pada berbagai negara. Prevalensi CKD stage 1-5 pada laki-laki berkisar dari 4,5% di Korea Selatan hingga 25,7% di El Salvador, dan pada perempuan berkisar dari 4,1% di Saudi Arabia hingga 16,0% di Singapura. Prevalensi CKD stage 3-5 bervariasi dari 1,3% di China hingga 15,4% di Nepal pada laki-laki, dan dari 1,7% di Singapura hingga 21,3% di Nepal pada perempuan. Prevalensinya pada perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki. Pada tahun 2010, diperkiraan jumlah total orang dewasa dengan CKD pada berbagai stage adalah 225,7 juta orang laki-laki dan 271,8 juta orang perempuan.[3]

Penelitian epidemiologis CKD di Indonesia masih sangat jarang, sehingga prevalensinya tidak diketahui. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi CKD di Indonesia cukup rendah yaitu 0,2%, akan tetapi hasil ini didapatkan berdasarkan wawancara kepada pasien dari diagnosis oleh dokter.[4]

Faktor risiko

Faktor risiko utama terjadinya CKD antara lain adalah sebagai berikut:[5] 

a. Hipertensi
Pada tahun 2000, diperkirakan 26% orang dewasa di seluruh dunia mempunyai hipertensi yang setara dengan hampir 1 milyar orang. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan angka harapan hidup yang lebih panjang, diperkirakan pada tahun 2025 akan terdapat 1,5 milyar orang yang mempunyai hipertensi. 
Hipertensi dapat menjadi penyebab maupun konsekuensi dari CKD. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan semakin memburuknya fungsi ginjal dan hampir selalu ada pada pasien yang memulai dialisis. Pada orang dengan CKD, hipertensi dan secara khusus peningkatan tekanan darah sistolik berhubungan dengan progresivitas yang lebih cepat menjadi end state renal disease (ESRD), insidensi penyakit kardiovaskuler, dan mortalitas. 

b. Diabetes
Diabetes telah dihubungkan dengan peningkatan risiko insidensi CKD sebesar tiga kali lipat. Sekitar 25% orang dengan CKD mempunyai diabetes. Seperti hipertensi, diabetes juga merupakan faktor risiko mayor untuk ESRD, penyakit kardiovaskuler, dan mortalitas pada orang dengan CKD.

c. Obesitas
Obesitas berhubungan langsung dengan peningkatan risiko CKD. Pada penelitian Framingham, odds ratio untuk CKD baru untuk setiap peningkatan index massa tubuh (IMT) 4,2 kg/m2 adalah 1,23 (95% CI: 1,08-1,41). Pasien-pasien CKD pre-dialisis dengan overweight dan obesitas disarankan untuk menurunkan berat badan untuk memperlambat perkembangan CKD.

d. Sindrom metabolik
Sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan insidensi penurunan GFR <60 ml/menit/1,73m2 dan albuminuria ≥30 mg/g.

Masalah dan tata laksana gizi pada pasien CKD

Pasien CKD berisiko menjadi malnutrisi oleh karena berbagai penyebab, antara lain penurunan asupan oral, adanya restriksi diet, toksisitas uremikum, mikroinflamasi, asidosis metabolik, faktor hormonal (resistensi insulin, hiperparatiroidisme dan lain-lain), serta faktor gastrointestinal (gastroplegia, gangguan absorpsi dan lain-lain). Pasien dengan CKD dapat mengalami gangguan pengosongan lambung, gangguan motilitas usus, gangguan fungsi digestif dan absorptif serta perubahan pada mikroflora intestinal. Selain itu, diet pada pasien CKD biasanya rendah protein yang dapat menyebabkan malnutrisi jika tidak dimonitor dengan baik.[6]

Tujuan awal pengelolaan gizi pada pasien CKD adalah mengelola gejala yang berkaitan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia), menurunkan risiko progresivitas penyakit, dan mempertahankan atau meningkatkan status gizi pasien. Pasien dengan defisiensi protein yang berat perlu mendapat asupan protein dan energi yang cukup untuk mempertahankan balans nitrogen positif, meningkatkan kadar albumin plasma dan menghilangkan edema.[7] 

Kebutuhan gizi pada pasien CKD adalah sebagai berikut:[6,7]

a. Protein
Asupan protein harian adalah 0,8 g/kg/hari dengan 60% dari protein tersebut adalah jenis yang tinggi nilai biologis (high biologic value, HBV) untuk pasien dengan GFR > 55 ml/menit. Pasien dengan GFR 25-55 ml/menit diberikan 0,6 g/kg/hari dengan 60% HBV. Jika GFR < 25 ml/menit dan belum memulai dialisis, protein diberikan 0,6 g/kg/hari. 
Pasien yang menjalani dialisis diberikan protein dalam jumlah yang lebih tinggi oleh karena selama proses dialisis pasien mengalami kehilangan protein sekitar 1 g/jam. Asupan protein untuk pasien hemodialisis adalah 1,2 g/kg/hari sedangkan pasien dialisis peritoneal adalah 1,2-1,5 g/kg/hari.

b. Energi
Pasien yang mendapatkan asupan protein 0,6 g/kg/hari perlu mendapat asupan energi yang cukup tinggi yaitu 35 kkal/kg/hari agar protein tidak digunakan sebagai sumber energi. Jika pasien tidak dapat memenuhi asupan energi tersebut maka asupan protein dinaikkan menjadi 0,75 g/kg/hari. 

c. Natrium
Adanya edema pada pasien CKD menunjukkan terjadinya kelebihan natrium, oleh karena itu asupan natrium dibatasi sebesar 2-3 g/hari. 

d. Kalium
Pasien CKD stage awal biasanya mendapatkan diuretik yang bersifat boros kalium, sehingga pasien mungkin memerlukan suplementasi kalium. Seiring perkembangan penyakit, jika produksi urine < 1 liter/hari maka pasien perlu pembatasan kalium oleh karena pembuangan kalium lewat ginjal tidak adekuat (biasanya pada CKD stage 4 ke atas). 

e. Fosfat
Kadar fosfat serum meningkat seiring dengan penurunan GFR. Pengurangan fosfat secara dini dapat memperlambat terjadinya hiperparatiroidisme dan penyakit pada tulang. Pasien dengan GFR < 60 ml/menit harus dievaluasi adanya gangguan pada tulang dan memerlukan pembatasan fosfat (≤ 1000 mg/hari). Pasien dengan restriksi protein tidak terlalu sulit untuk membatasi fosfat oleh karena fosfat banyak terdapat pada makanan sumber protein, akan tetapi pada pasien dialisis yang memerlukan protein dalam jumlah lebih tinggi restriksi fosfat harus lebih dilakukan lebih cermat. Pemberian agen pengikat fosfat mungkin bermanfaat.

f. Vitamin
Pasien CKD umumnya memerlukan suplementasi vitamin larut air oleh karena pembatasan diet menyebabkan asupan vitamin tersebut tidak adekuat.

g. Cairan
Pasien CKD pre-dialisis dengan kondisi hemodinamik yang stabil tidak memerlukan pembatasan cairan, sedangkan pasien dengan dialisis memerlukan pembatasan cairan. Rekomendasi asupan cairan untuk pasien dialisis adalah 750 ml/hari ditambah sejumlah yang sama dengan keluaran urine. Yang dihitung sebagai 750 ml ini adalah cairan yang berbentuk cair pada suhu kamar, sehingga air dalam makanan padat tidak termasuk dalam 750 ml ini. Makanan padat dalam diet rata-rata mengandung air sekitar 500-800 ml/hari, dan ini dianggap setara dengan kehilangan cairan melalui insensible water loss (IWL).

Daftar Rujukan

1. Eknoyan G, Lameire N, Eckardt K, Kasiske B, Wheeler D, Levin A et al. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int 2013; 3: 1-150. Download pdf

2. Levey AS, Coresh J, Bolton K, Culleton B, Harvey KS, Ikizler TA et al. KDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2002; 39(2 Suppl 1): S1-S266. Download pdf

3. Mills KT, Xu Y, Zhang W, Bundy JD, Chen C-S, Kelly TN et al. A systematic analysis of worldwide population-based data on the global burden of chronic kidney disease in 2010. Kidney Int. 2015; 88: 950–957. Download pdf

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013: 128-130.

5. Muntner P, Levin A. Epidemiology of Chronic Kidney Disease: Scope of the Problem. In: Kimmel PL, Rosenberg ME (eds). Chronic Renal Disease. Elsevier, 2015, pp 57-68. Download pdf

6. Cano N, Fiaccadori E, Tesinsky P, Toigo G, Druml W, Kuhlmann M et al. ESPEN guidelines on enteral nutrition: adult renal failure. Clin Nutr 2006; 25(2): 295-310. Download pdf

7. Wilkens KG, Juneja V, Shanaman E. Medical nutrition therapy for renal disorders. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL (eds). Krause's Food & The Nutrition Care Process, 13 edn. Elsevier Saunders: Missouri, 2012, pp 799-831.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar