17 Agustus 2016

Obesitas: Epidemiologi dan Faktor-Faktor Determinan

Menurut World Health Organization (WHO), obesitas secara sederhana dapat didefiniskan sebagai akumulasi lemak dalam tubuh yang berlebihan yang dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan. Secara umum, baik dalam bidang epidemiologi maupun praktik klinik, obesitas ditentukan berdasarkan Index Massa Tubuh (IMT), yaitu berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter). Berdasarkan IMT (yang dinyatakan dalam kg/m2), seseorang dinyatakan sebagai berat badan kurang (underweight), berat badan normal, berat badan lebih (overweight, pra-obesitas) dan obesitas (Tabel 1).[1] Namun demikian, IMT tidak memberikan gambaran tentang persentase maupun distribusi lemak tubuh sehingga dapat terjadi misklasifikasi dalam menentukan obesitas serta risiko kardiometabolik yang terkait dengannya.[2]

Pada tingkat populasi, korelasi positif yang kuat antara IMT dengan kandungan lemak tubuh telah dilaporkan secara luas.[3] Di lain pihak, pada tingkat individu terdapat variasi yang cukup besar dalam hal kandungan lemak tubuh. Salah satu penelitian pada subyek sehat dengan IMT normal (24 kg/m2) menunjukkan bahwa kandungan lemak tubuh subyek bervariasi antara 8% sampai 38% pada pria dan 30% sampai 44% pada wanita.[4] Hal ini berarti bahwa seseorang dengan IMT normal dapat mempunyai kandungan lemak tubuh yang tinggi dengan massa otot yang rendah atau sebaliknya mempunyai massa otot yang tinggi dengan kandungan lemak yang normal, seperti yang sering ditemukan pada atlet. 

Prevalensi obesitas di dunia dipantau oleh WHO berdasarkan data IMT yang dikumpulkan dari survey atau studi populasi yang mencantumkan berat dan tinggi badan, baik yang diukur maupun yang dilaporkan oleh subyek. Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan (overweight), dan 600 juta orang mengalami obesitas. Secara keseluruhan, 39% orang dewasa (38% pria dan 40% wanita) usia 18 tahun ke atas mengalami overweight  dan 13% (11% pria dan 15% wanita) mengalami obesitas. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding prevalensi tahun 2008.[5]

Angka obesitas di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada laki-laki dewasa terjadi peningkatan prevalensi obesitas dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 19,7 % pada tahun 2013. Pada wanita dewasa terjadi peningkatan yang cukup ekstrim yaitu dari 14,8% pada tahun 2007 menjadi 32,9 % pada tahun 2013.[6]

Tabel 1. Klasifikasi status berat badan berdasarkan IMT pada populasi umum dan populasi Asia (diadaptasi dari WHO).[1,9]







Etiologi dan faktor-faktor determinan

Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin dan faktor etnik berpengaruh terhadap terjadinya obesitas. Prevalensi obesitas meningkat dengan bertambahnya usia, dengan puncaknya terjadi pada usia sekitar 60 tahun.[7] Secara khusus wanita mempunyai persentase kandungan lemak tubuh yang lebih tinggi daripada pria, dan juga mempunyai distribusi lemak yang berbeda yaitu mempunyai lemak subkutan yang lebih tinggi daripada lemak viseral.[8] Faktor etnik juga perlu diperhatikan oleh karena IMT 20-25 kg/m2 yang merupakan IMT normal dan sehat pada populasi Kaukasian, ternyata berkorelasi dengan kandungan lemak yang lebih tinggi dan peningkatan risiko penyakit pada kelompok etnik yang berbeda, khususnya populasi Asia. Hal ini menyebabkan WHO membuat nilai cut-off yang berbeda untuk berat badan lebih dan obesitas pada populasi Asia (Tabel 1).[9] 

Faktor lingkungan tampaknya merupakan kontributor utama terjadinya epidemik obesitas. Data asupan makanan dari empat studi NHANES secara berurutan menunjukkan bahwa peningkatan jumlah dan densitas energi makanan yang dikonsumsi berhubungan secara paralel dengan peningkatan prevalensi obesitas pada populasi Amerika Serikat.[10] 

Adanya hasil penelitian bahwa overweight dan obesitas bersifat cluster dalam area tertentu menunjukkan bahwa faktor lingkungan merupakan determinan penting pada obesitas. Faktor-faktor lingkungan yang bersifat ‘obesogenik’ seperti ketersediaan dan kemudahan dalam mengakses tempat penjualan makanan tidak sehat (makanan tinggi lemak, junk food) dan sebaliknya ketidaknyamanan dalam mengakses tempat penjualan buah dan sayuran merupakan hal-hal yang memfasilitasi terjadinya obesitas.[11] 

Selain faktor lingkungan, terdapat faktor predisposisi genetik terhadap obesitas. Upaya yang dilakukan untuk memahami basis genetik obesitas telah mengidentifikasi berbagai gen yang berhubungan dengan sindrom obesitas. Studi genetik dalam satu dekade terakhir menemukan adanya 227 varian genetik yang tercakup dalam berbagai jalur biologis yang berbeda (sistem saraf pusat, pengecapan dan pencernaan makanan, diferensiasi adiposit, pensinyalan insulin, metabolisme lipid, biologi otot dan hepar, mikrobiota usus) telah dihubungkan dengan obesitas poligenik.[12]

Salah satu hipotesis penyebab terjadinya obesitas, yang dikenal sebagai teori thrifty gene menjelaskan bahwa beberapa populasi mempunyai gen-gen yang meningkatkan penyimpanan lemak pada saat starvasi sebagai mekanisme pertahanan hidup. Pada fase awal sejarah manusia, ketika manusia harus bersusah payah untuk mendapatkan makanan dan tergantung pada ketersediaan makanan sedangkan pada sisi lain banyak mengeluarkan energi, gen ‘hemat’ ini membantu manusia untuk bertahan hidup. Pada situasi saat ini, ketika sumber makanan berlimpah, ekspresi gen tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan lemak yang berlebihan, memicu terjadinya obesitas dan keadaan lain seperti diabetes melitus tipe 2.[13]

Hipotesis lain yang menjelaskan mekanisme terjadinya obesitas adalah teori fetal origin. Menurut teori ini, status gizi ibu dan pertumbuhan janin yang buruk merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit kronis yang mempengaruhi pemrograman struktur, fisiologi, dan metabolisme tubuh. Sebagai akibatnya, setelah lahir terjadi kegagalan dalam pensinyalan sistem saraf pusat yang mengatur nafsu makan, asupan energi dan berat badan yang memicu terjadinya obesitas.[13]

Daftar Rujukan

1. World Health Organization. Obesity: preventing and managing the global epidemic. Report of a WHO consultation. WHO Technical Series 894. Geneva. 2000: 1-253.

2. Gomez-Ambrosi J, Silva C, Galofre J, Escalada J, Santos S, Millan D et al. Body mass index classification misses subjects with increased cardiometabolic risk factors related to elevated adiposity. Int J Obes 2012; 36: 286–294.

3. Okorodudu DO, Jumean MF, Montori VM, Romero-Corral A, Somers VK, Erwin PJ et al. Diagnostic performance of body mass index to identify obesity as defined by body adiposity: a systematic review and meta-analysis. Int J Obes 2010; 34: 791-799.

4. Thomas EL, Frost G, Taylor-Robinson SD, Bell JD. Excess body fat in obese and normal-weight subjects. Nutr Res Rev 2012; 25: 150–161.

5. World Health Organization. Obesity and overweight. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/. Update terakhir Januari 2015. 

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013: 263-265.

7. Mathus-Vliegen EM, Basdevant A, Finer N, Hainer V, Hauner H, Micic D et al. Prevalence, pathophysiology, health consequences and treatment options of obesity in the elderly: a guideline. Obes Facts 2012; 5(3): 460-483.

8. Karastergiou K, Smith SR, Greenberg AS, Fried SK. Sex differences in human adipose tissues – the biology of pear shape. Biol Sex Differ 2012; 3: 1-12.

9. World Health Organization. Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. Lancet 2004; 363: 157-163.

10. Kant AK, Graubard BI. Secular trends in patterns of self-reported food consumption of adult Americans: NHANES 1971-1975 to NHANES 1999–2002. Am J Clin Nutr 2006; 84(5): 1215-1223.

11. Giskes K, van Lenthe F, AvendanoPabon M, Brug J. A systematic review of environmental factors and obesogenic dietary intakes among adults: are we getting closer to understanding obesogenic environments? Obes Rev 2011; 12(5): e95-e106.

12.  Pigeyre M, Yazdi FT, Kaur Y, Meyre D. Recent progress in genetics, epigenetics and metagenomics unveils the pathophysiology of human obesity. Clin Sci 2016; 130(12): 943-986.

13.  González H. Managing Patients with Obesity,  Springer: Switzerland, 2016; pp:23-29.


14 Agustus 2016

Tata Laksana Gizi Pada Pasien Chronic Kidney Disease

Definisi dan klasifikasi

Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang muncul selama > 3 bulan yang berdampak pada kesehatan. Kriteria CKD adalah adanya kerusakan ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR). Kerusakan ginjal ditandai dengan adanya salah satu atau lebih hal-hal berikut: albuminuria ≥ 30 mg/24 jam, abnormalitas sedimen urin, gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan lain akibat abnormalitas tubulus, kelainan histologis, kelainan struktural yang terlihat pada pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal. Penurunan GFR ditandai dengan hasil pemeriksaan GFR < 60 ml/menit/1,73m2.[1]

Pada tahun 2002, Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) menyusun suatu klasifikasi CKD yang membaginya ke dalam 5 stage (Tabel 1).[2] Klasifikasi ini kemudian direvisi pada tahun 2012 dengan memasukkan albuminuria atau albumin excretion rate (AER) sebagai penanda kerusakan ginjal (Tabel 2).[1]


Epidemiologi

Prevalensi CKD bervariasi pada berbagai negara. Prevalensi CKD stage 1-5 pada laki-laki berkisar dari 4,5% di Korea Selatan hingga 25,7% di El Salvador, dan pada perempuan berkisar dari 4,1% di Saudi Arabia hingga 16,0% di Singapura. Prevalensi CKD stage 3-5 bervariasi dari 1,3% di China hingga 15,4% di Nepal pada laki-laki, dan dari 1,7% di Singapura hingga 21,3% di Nepal pada perempuan. Prevalensinya pada perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki. Pada tahun 2010, diperkiraan jumlah total orang dewasa dengan CKD pada berbagai stage adalah 225,7 juta orang laki-laki dan 271,8 juta orang perempuan.[3]

Penelitian epidemiologis CKD di Indonesia masih sangat jarang, sehingga prevalensinya tidak diketahui. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi CKD di Indonesia cukup rendah yaitu 0,2%, akan tetapi hasil ini didapatkan berdasarkan wawancara kepada pasien dari diagnosis oleh dokter.[4]

Faktor risiko

Faktor risiko utama terjadinya CKD antara lain adalah sebagai berikut:[5] 

a. Hipertensi
Pada tahun 2000, diperkirakan 26% orang dewasa di seluruh dunia mempunyai hipertensi yang setara dengan hampir 1 milyar orang. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan angka harapan hidup yang lebih panjang, diperkirakan pada tahun 2025 akan terdapat 1,5 milyar orang yang mempunyai hipertensi. 
Hipertensi dapat menjadi penyebab maupun konsekuensi dari CKD. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan semakin memburuknya fungsi ginjal dan hampir selalu ada pada pasien yang memulai dialisis. Pada orang dengan CKD, hipertensi dan secara khusus peningkatan tekanan darah sistolik berhubungan dengan progresivitas yang lebih cepat menjadi end state renal disease (ESRD), insidensi penyakit kardiovaskuler, dan mortalitas. 

b. Diabetes
Diabetes telah dihubungkan dengan peningkatan risiko insidensi CKD sebesar tiga kali lipat. Sekitar 25% orang dengan CKD mempunyai diabetes. Seperti hipertensi, diabetes juga merupakan faktor risiko mayor untuk ESRD, penyakit kardiovaskuler, dan mortalitas pada orang dengan CKD.

c. Obesitas
Obesitas berhubungan langsung dengan peningkatan risiko CKD. Pada penelitian Framingham, odds ratio untuk CKD baru untuk setiap peningkatan index massa tubuh (IMT) 4,2 kg/m2 adalah 1,23 (95% CI: 1,08-1,41). Pasien-pasien CKD pre-dialisis dengan overweight dan obesitas disarankan untuk menurunkan berat badan untuk memperlambat perkembangan CKD.

d. Sindrom metabolik
Sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan insidensi penurunan GFR <60 ml/menit/1,73m2 dan albuminuria ≥30 mg/g.

Masalah dan tata laksana gizi pada pasien CKD

Pasien CKD berisiko menjadi malnutrisi oleh karena berbagai penyebab, antara lain penurunan asupan oral, adanya restriksi diet, toksisitas uremikum, mikroinflamasi, asidosis metabolik, faktor hormonal (resistensi insulin, hiperparatiroidisme dan lain-lain), serta faktor gastrointestinal (gastroplegia, gangguan absorpsi dan lain-lain). Pasien dengan CKD dapat mengalami gangguan pengosongan lambung, gangguan motilitas usus, gangguan fungsi digestif dan absorptif serta perubahan pada mikroflora intestinal. Selain itu, diet pada pasien CKD biasanya rendah protein yang dapat menyebabkan malnutrisi jika tidak dimonitor dengan baik.[6]

Tujuan awal pengelolaan gizi pada pasien CKD adalah mengelola gejala yang berkaitan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia), menurunkan risiko progresivitas penyakit, dan mempertahankan atau meningkatkan status gizi pasien. Pasien dengan defisiensi protein yang berat perlu mendapat asupan protein dan energi yang cukup untuk mempertahankan balans nitrogen positif, meningkatkan kadar albumin plasma dan menghilangkan edema.[7] 

Kebutuhan gizi pada pasien CKD adalah sebagai berikut:[6,7]

a. Protein
Asupan protein harian adalah 0,8 g/kg/hari dengan 60% dari protein tersebut adalah jenis yang tinggi nilai biologis (high biologic value, HBV) untuk pasien dengan GFR > 55 ml/menit. Pasien dengan GFR 25-55 ml/menit diberikan 0,6 g/kg/hari dengan 60% HBV. Jika GFR < 25 ml/menit dan belum memulai dialisis, protein diberikan 0,6 g/kg/hari. 
Pasien yang menjalani dialisis diberikan protein dalam jumlah yang lebih tinggi oleh karena selama proses dialisis pasien mengalami kehilangan protein sekitar 1 g/jam. Asupan protein untuk pasien hemodialisis adalah 1,2 g/kg/hari sedangkan pasien dialisis peritoneal adalah 1,2-1,5 g/kg/hari.

b. Energi
Pasien yang mendapatkan asupan protein 0,6 g/kg/hari perlu mendapat asupan energi yang cukup tinggi yaitu 35 kkal/kg/hari agar protein tidak digunakan sebagai sumber energi. Jika pasien tidak dapat memenuhi asupan energi tersebut maka asupan protein dinaikkan menjadi 0,75 g/kg/hari. 

c. Natrium
Adanya edema pada pasien CKD menunjukkan terjadinya kelebihan natrium, oleh karena itu asupan natrium dibatasi sebesar 2-3 g/hari. 

d. Kalium
Pasien CKD stage awal biasanya mendapatkan diuretik yang bersifat boros kalium, sehingga pasien mungkin memerlukan suplementasi kalium. Seiring perkembangan penyakit, jika produksi urine < 1 liter/hari maka pasien perlu pembatasan kalium oleh karena pembuangan kalium lewat ginjal tidak adekuat (biasanya pada CKD stage 4 ke atas). 

e. Fosfat
Kadar fosfat serum meningkat seiring dengan penurunan GFR. Pengurangan fosfat secara dini dapat memperlambat terjadinya hiperparatiroidisme dan penyakit pada tulang. Pasien dengan GFR < 60 ml/menit harus dievaluasi adanya gangguan pada tulang dan memerlukan pembatasan fosfat (≤ 1000 mg/hari). Pasien dengan restriksi protein tidak terlalu sulit untuk membatasi fosfat oleh karena fosfat banyak terdapat pada makanan sumber protein, akan tetapi pada pasien dialisis yang memerlukan protein dalam jumlah lebih tinggi restriksi fosfat harus lebih dilakukan lebih cermat. Pemberian agen pengikat fosfat mungkin bermanfaat.

f. Vitamin
Pasien CKD umumnya memerlukan suplementasi vitamin larut air oleh karena pembatasan diet menyebabkan asupan vitamin tersebut tidak adekuat.

g. Cairan
Pasien CKD pre-dialisis dengan kondisi hemodinamik yang stabil tidak memerlukan pembatasan cairan, sedangkan pasien dengan dialisis memerlukan pembatasan cairan. Rekomendasi asupan cairan untuk pasien dialisis adalah 750 ml/hari ditambah sejumlah yang sama dengan keluaran urine. Yang dihitung sebagai 750 ml ini adalah cairan yang berbentuk cair pada suhu kamar, sehingga air dalam makanan padat tidak termasuk dalam 750 ml ini. Makanan padat dalam diet rata-rata mengandung air sekitar 500-800 ml/hari, dan ini dianggap setara dengan kehilangan cairan melalui insensible water loss (IWL).

Daftar Rujukan

1. Eknoyan G, Lameire N, Eckardt K, Kasiske B, Wheeler D, Levin A et al. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int 2013; 3: 1-150. Download pdf

2. Levey AS, Coresh J, Bolton K, Culleton B, Harvey KS, Ikizler TA et al. KDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2002; 39(2 Suppl 1): S1-S266. Download pdf

3. Mills KT, Xu Y, Zhang W, Bundy JD, Chen C-S, Kelly TN et al. A systematic analysis of worldwide population-based data on the global burden of chronic kidney disease in 2010. Kidney Int. 2015; 88: 950–957. Download pdf

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013: 128-130.

5. Muntner P, Levin A. Epidemiology of Chronic Kidney Disease: Scope of the Problem. In: Kimmel PL, Rosenberg ME (eds). Chronic Renal Disease. Elsevier, 2015, pp 57-68. Download pdf

6. Cano N, Fiaccadori E, Tesinsky P, Toigo G, Druml W, Kuhlmann M et al. ESPEN guidelines on enteral nutrition: adult renal failure. Clin Nutr 2006; 25(2): 295-310. Download pdf

7. Wilkens KG, Juneja V, Shanaman E. Medical nutrition therapy for renal disorders. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL (eds). Krause's Food & The Nutrition Care Process, 13 edn. Elsevier Saunders: Missouri, 2012, pp 799-831.

21 Februari 2016

Hiperbilirubinemia dan Ikterus Obstruktif

Metabolisme bilirubin

Ikterus merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan munculnya warna kekuningan pada kulit, sklera dan membran mukosa oleh karena peningkatan abnormal kadar bilirubin dalam serum. Bilirubin merupakan produk degradasi normal dari hemoglobin. Secara umum, deposisi bilirubin pada kulit, sklera dan membran mukosa terjadi jika kadar bilirubin dalam serum lebih dari 3 mg/dL.[1-3]


Bilirubin merupakan pigmen tetrapirol yang berasal dari pemecahan haem. Pada orang normal, produksi bilirubin rata-rata sekitar 250 – 300 mg per hari. Sekitar 80 % bilirubin tersebut berasal dari pemecahan eritrosit di sistem retikuloendotelial, 15 % berasal dari eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang, dan 5 % berasal dari pemecahan haem dari myoglobin, catalase, dan sitokrom. Produksi bilirubin di sistem retikuloendotelial terjadi dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu proses oksidasi haem oleh haem oxygenase menghasilkan biliverdin yang berwarna hijau. Tahap kedua adalah reduksi biliverdin menjadi bilirubin yang tidak berwarna oleh enzim biliverdin reduktase. Selanjutnya bilirubin tersebut ditransport ke hepar dalam bentuk terikat dengan albumin.[2]


Bilirubin (dalam keadaan belum terkonjugasi) diambil oleh sel hepar melintasi membran basolateral melalui suatu carrier yang termasuk dalam kelompok OATP (organic anion transporter). Di dalam sitosol hepatosit, bilirubin selanjutnya diangkut ke retikulum endoplasmik halus untuk mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, juga untuk mencegah bilirubin keluar kembali ke plasma. Setelah dikonjugasi, bilirubin berdifusi dari retikulum endoplasmik melalui membran sel apikal dan diekskresikan ke kanalikuli empedu oleh pompa yang tergantung ATP. Sebagian kecil bilirubin terkonjugasi disekresikan ke aliran darah dan dibuang melalui ginjal.[2]


Bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam empedu dan mengalir masuk ke duodenum, melewati bagian proximal usus halus dalam keadaan tetap utuh. Pada usus halus bagian distal dan di kolon bilirubin tersebut mengalami hidrolisis kembali menjadi bentuk tak terkonjugasi oleh betaglukoronidase dari bakteri intestinal. Selanjutnya ia direduksi oleh flora usus menjadi urobilinogen yang tak berwarna. Sekitar 80 – 90 % urobilinogen ini diekskresikan melalui feses baik dalam keadaan utuh maupun dioksidasi menjadi urobilin dan stercobilin yang memberi bau normal pada feses. Sekitar 10 – 20 % urobilinogen diabsorpsi secara pasif dan kembali ke hepar melalui sirkulasi enterohepatik untuk re-konjugasi dan diekskresikan ke dalam empedu.[2]


Hiperbilirubinemia


Pemeriksaan bilirubin terkonjugasi dalam serum atau plasma dilakukan dengan menambahkan reagen diazo ke dalam serum atau plasma, sehingga bilirubin terkonjugasi bereaksi dengan reagen diazo untuk menghasilkan azobilirubin yang selanjutnya diukur secara kolorimetri. Hasil pemeriksaannya dikenal sebagai bilirubin direk. Pemeriksaan kadar bilirubin total prinsipnya sama dengan pemeriksaan bilirubin terkonjugasi, akan tetapi diberikan tambahan akselerator agar bilirubin tak terkonjugasi dapat bereaksi juga dengan reagen diazo. Pengukuran kadar bilirubin tak terkonjugasi (yang dikenal sebagai bilirubin indirek) dilakukan dengan menghitung kadar bilirubin total dikurangi kadar bilirubin direk.[4]


Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat meningkat pada kondisi-kondisi berikut: a) peningkatan produksi bilirubin tak terkonjugasi (misalnya pada anemia hemolitik atau anemia karena eritropoesis yang tidak efektif); b) gangguan uptake bilirubin tak terkonjugasi di hepar (akibat obat-obatan seperti rifampisin, probenesid, dan golongan protease inhibitor seperti indinavir); c) gangguan konjugasi di hepar (bayi prematur, penyakit hati berat, obat-obatan seperti kloramfenikol, dan defek kongenital seperti pada sindrom Criggler Najjar).[2,3]


Bilirubin terkonjugasi dapat mengalami peningkatan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan gangguan ekskresi dan aliran empedu. Gangguan ekskresi bilirubin terjadi pada kelainan kongenital yaitu Sindroma Rotor dan Sindroma Dubin-Johnson, sedangkan gangguan aliran empedu terjadi pada kolestasis intrahepatal maupun ekstrahepatal.[2,3]


Ikterus Obstruktif


Pendekatan diagnostik pada pasien dengan ikterus diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cermat. Pada saat anamnesis, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) gejala seperti rasa gatal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, feses yang berwarna pucat, urine berwarna gelap seperti air teh, demam dan nyeri abdomen; b) penggunaan obat-obatan, baik obat yang diresepkan, obat bebas, maupun obat-obat herbal; c) riwayat konsumsi alkohol; d) faktor risiko hepatitis dan HIV (kontak seksual, transfusi darah, penggunaan narkoba); e) riwayat keluarga terhadap ikterus, penyakit hepar, kanker atau anemia hemolitik.[5]

Pemeriksaan fisik pada pasien ikterik dapat membantu menentukan penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan penyakit hepar kronis dapat ditemukan tanda-tanda seperti spider naevi, eritema palmaris, ascites, hepatomegali atau caput medusa. Hiperpigmentasi pada kulit dapat mengarahkan diagnosis pada hemokromatosis.[3,5]


Pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi perlu dilakukan pada pasien dengan ikterus untuk menilai kemungkinan terjadinya anemia hemolitik. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin direk dan total, aminotransferase, alkalin fosfatase, γ-glutamil transferase, waktu protrombin, dan albumin. Analisis terhadap hasil-hasil pemeriksaan tersebut akan mengarahkan jenis pemeriksaan lanjutan apa yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis.[3,5]



Daftar Rujukan

1. Gilmore I, Garvey CJ. Jaundice. Medicine 2013; 41(2): 99-103. Download pdf
2. Ramappa V, Aithal GP. Jaundice: applying lessons from physiology. Surgery 2014; 32(12): 627-634. Download pdf
3. Kathpalia P, Ahn J. Assessment of jaundice in the hospitalized patient. Clin Liver Dis 2015; 19(1): 155-170. Download pdf
4. Dasgupta A, Wahed A. Liver Diseases and Liver Function Tests. In: Clinical Chemistry, Immunology and Laboratory Quality Control. Elsevier, 2014, pp 177-195. Download pdf
5. Houlihan DD, Armstrong MJ, Newsome PN. Investigation of jaundice. Medicine 2011; 39(9): 518-522. Download pdf