21 Februari 2016

Hiperbilirubinemia dan Ikterus Obstruktif

Metabolisme bilirubin

Ikterus merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan munculnya warna kekuningan pada kulit, sklera dan membran mukosa oleh karena peningkatan abnormal kadar bilirubin dalam serum. Bilirubin merupakan produk degradasi normal dari hemoglobin. Secara umum, deposisi bilirubin pada kulit, sklera dan membran mukosa terjadi jika kadar bilirubin dalam serum lebih dari 3 mg/dL.[1-3]


Bilirubin merupakan pigmen tetrapirol yang berasal dari pemecahan haem. Pada orang normal, produksi bilirubin rata-rata sekitar 250 – 300 mg per hari. Sekitar 80 % bilirubin tersebut berasal dari pemecahan eritrosit di sistem retikuloendotelial, 15 % berasal dari eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang, dan 5 % berasal dari pemecahan haem dari myoglobin, catalase, dan sitokrom. Produksi bilirubin di sistem retikuloendotelial terjadi dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu proses oksidasi haem oleh haem oxygenase menghasilkan biliverdin yang berwarna hijau. Tahap kedua adalah reduksi biliverdin menjadi bilirubin yang tidak berwarna oleh enzim biliverdin reduktase. Selanjutnya bilirubin tersebut ditransport ke hepar dalam bentuk terikat dengan albumin.[2]


Bilirubin (dalam keadaan belum terkonjugasi) diambil oleh sel hepar melintasi membran basolateral melalui suatu carrier yang termasuk dalam kelompok OATP (organic anion transporter). Di dalam sitosol hepatosit, bilirubin selanjutnya diangkut ke retikulum endoplasmik halus untuk mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, juga untuk mencegah bilirubin keluar kembali ke plasma. Setelah dikonjugasi, bilirubin berdifusi dari retikulum endoplasmik melalui membran sel apikal dan diekskresikan ke kanalikuli empedu oleh pompa yang tergantung ATP. Sebagian kecil bilirubin terkonjugasi disekresikan ke aliran darah dan dibuang melalui ginjal.[2]


Bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam empedu dan mengalir masuk ke duodenum, melewati bagian proximal usus halus dalam keadaan tetap utuh. Pada usus halus bagian distal dan di kolon bilirubin tersebut mengalami hidrolisis kembali menjadi bentuk tak terkonjugasi oleh betaglukoronidase dari bakteri intestinal. Selanjutnya ia direduksi oleh flora usus menjadi urobilinogen yang tak berwarna. Sekitar 80 – 90 % urobilinogen ini diekskresikan melalui feses baik dalam keadaan utuh maupun dioksidasi menjadi urobilin dan stercobilin yang memberi bau normal pada feses. Sekitar 10 – 20 % urobilinogen diabsorpsi secara pasif dan kembali ke hepar melalui sirkulasi enterohepatik untuk re-konjugasi dan diekskresikan ke dalam empedu.[2]


Hiperbilirubinemia


Pemeriksaan bilirubin terkonjugasi dalam serum atau plasma dilakukan dengan menambahkan reagen diazo ke dalam serum atau plasma, sehingga bilirubin terkonjugasi bereaksi dengan reagen diazo untuk menghasilkan azobilirubin yang selanjutnya diukur secara kolorimetri. Hasil pemeriksaannya dikenal sebagai bilirubin direk. Pemeriksaan kadar bilirubin total prinsipnya sama dengan pemeriksaan bilirubin terkonjugasi, akan tetapi diberikan tambahan akselerator agar bilirubin tak terkonjugasi dapat bereaksi juga dengan reagen diazo. Pengukuran kadar bilirubin tak terkonjugasi (yang dikenal sebagai bilirubin indirek) dilakukan dengan menghitung kadar bilirubin total dikurangi kadar bilirubin direk.[4]


Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat meningkat pada kondisi-kondisi berikut: a) peningkatan produksi bilirubin tak terkonjugasi (misalnya pada anemia hemolitik atau anemia karena eritropoesis yang tidak efektif); b) gangguan uptake bilirubin tak terkonjugasi di hepar (akibat obat-obatan seperti rifampisin, probenesid, dan golongan protease inhibitor seperti indinavir); c) gangguan konjugasi di hepar (bayi prematur, penyakit hati berat, obat-obatan seperti kloramfenikol, dan defek kongenital seperti pada sindrom Criggler Najjar).[2,3]


Bilirubin terkonjugasi dapat mengalami peningkatan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan gangguan ekskresi dan aliran empedu. Gangguan ekskresi bilirubin terjadi pada kelainan kongenital yaitu Sindroma Rotor dan Sindroma Dubin-Johnson, sedangkan gangguan aliran empedu terjadi pada kolestasis intrahepatal maupun ekstrahepatal.[2,3]


Ikterus Obstruktif


Pendekatan diagnostik pada pasien dengan ikterus diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cermat. Pada saat anamnesis, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) gejala seperti rasa gatal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, feses yang berwarna pucat, urine berwarna gelap seperti air teh, demam dan nyeri abdomen; b) penggunaan obat-obatan, baik obat yang diresepkan, obat bebas, maupun obat-obat herbal; c) riwayat konsumsi alkohol; d) faktor risiko hepatitis dan HIV (kontak seksual, transfusi darah, penggunaan narkoba); e) riwayat keluarga terhadap ikterus, penyakit hepar, kanker atau anemia hemolitik.[5]

Pemeriksaan fisik pada pasien ikterik dapat membantu menentukan penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan penyakit hepar kronis dapat ditemukan tanda-tanda seperti spider naevi, eritema palmaris, ascites, hepatomegali atau caput medusa. Hiperpigmentasi pada kulit dapat mengarahkan diagnosis pada hemokromatosis.[3,5]


Pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi perlu dilakukan pada pasien dengan ikterus untuk menilai kemungkinan terjadinya anemia hemolitik. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin direk dan total, aminotransferase, alkalin fosfatase, γ-glutamil transferase, waktu protrombin, dan albumin. Analisis terhadap hasil-hasil pemeriksaan tersebut akan mengarahkan jenis pemeriksaan lanjutan apa yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis.[3,5]



Daftar Rujukan

1. Gilmore I, Garvey CJ. Jaundice. Medicine 2013; 41(2): 99-103. Download pdf
2. Ramappa V, Aithal GP. Jaundice: applying lessons from physiology. Surgery 2014; 32(12): 627-634. Download pdf
3. Kathpalia P, Ahn J. Assessment of jaundice in the hospitalized patient. Clin Liver Dis 2015; 19(1): 155-170. Download pdf
4. Dasgupta A, Wahed A. Liver Diseases and Liver Function Tests. In: Clinical Chemistry, Immunology and Laboratory Quality Control. Elsevier, 2014, pp 177-195. Download pdf
5. Houlihan DD, Armstrong MJ, Newsome PN. Investigation of jaundice. Medicine 2011; 39(9): 518-522. Download pdf